boleh di Copy dengan ketentuan mohon cantumkan Naqrasumber

Selasa, 02 Februari 2010

pidato penggugah hati...

Cerita ini berbicara mengenai seorang anak yang bernama Severn Suzuki, seorang anak yang pada usia 9 tahun telah mendirikan Enviromental Children's Organization (ECO). ECO sendiri adalah sebuah kelompok kecil anak yang mendedikasikan diri untuk belajar dan mengajarkan pada anak-anak lain mengenai masalah lingkungan. Dan mereka pun diundang menghadiri Konfrensi Lingkungan hidup PBB, dimana pada saat itu Severn yang berusia 12 Tahun memberikan sebuah pidato kuat yang memberikan pengaruh besar (dan membungkam) beberapa pemimpin dunia terkemuka. Apa yang disampaikan oleh seorang anak kecil berusia 12 tahun hingga bisa membuat RUANG SIDANG PBB hening, lalu saat pidatonya selesai ruang sidang penuh dengan orang terkemuka yang berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah kepada anak berusia 12 tahun. Inilah Isi pidato tersebut: (Sumber: The Collage Foundation) Halo, nama Saya Severn Suzuki, berbicara mewakili E.C.O – Enviromental Children Organization. Kami adalah kelompok dari Kanada yang terdiri dari anak-anak berusia 12 dan 13 tahun, yang mencoba membuat perbedaan: Vanessa Suttie, Morga, Geister, Michelle Quiq dan saya sendiri. Kami menggalang dana untuk bisa datang kesini sejauh 6000 mil untuk memberitahukan pada anda sekalian orang dewasa bahwa anda harus mengubah cara anda, hari ini di sini juga. Saya tidak memiliki agenda tersembunyi. Saya menginginkan masa depan bagi diri saya saja. Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum atau rugi dalam pasar saham. Saya berada disini untuk berbicara bagi semua generasi yang akan datang. Saya berada disini mewakili anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar. Saya berada disini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya diseluruh planet ini karena kehilangan habitatnya. Kami tidak boleh tidak di dengar. Saya merasa takut untuk berada dibawah sinar matahari karena berlubangnya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernafas karena saya tidak tahu ada bahan kimia apa yang dibawa oleh udara. Saya sering memancing di Vancouver bersama ayah saya hingga beberapa tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan-ikannya penuh dengan kanker. Dan sekarang kami mendengar bahwa binatang-binatang dan tumbuhan satu persatu mengalami kepunahan tiap harinya - hilang selamanya. Dalam hidup saya, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan besar binatang-binatang liar, hutan rimba dan hutan tropis yang penuh dengan burung dan kupu-kupu. Tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal-hal tersebut bahkan masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya. Apakah anda sekalian harus khawatir terhadap masalah-masalah kecil ini ketika anda sekalian masih berusia sama serperti saya sekarang? Semua ini terjadi di hadapan kita dan walaupun begitu kita masih tetap bersikap bagaikan kita masih memiliki banyak waktu dan semua pemecahannya. Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki semua pemecahannya. Tetapi saya ingin anda sekalian menyadari bahwa anda sekalian juga sama seperti saya! Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita. Anda tidak tahu bagaiman cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai asalnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang telah punah. Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala di tempatnya, yang sekarang hanya berupa padang pasir. Jika anda tidak tahu bagaima cara memperbaikinya. TOLONG BERHENTI MERUSAKNYA! Disini anda adalah delegasi negara-negara anda. Pengusaha, anggota perhimpunan, wartawan atau politisi - tetapi sebenarnya anda adalah ayah dan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, paman dan bibi - dan anda semua adalah anak dari seseorang. Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga besar, yang beranggotakan lebih dari 5 milyar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi udara, air dan tanah di planet yang sama - perbatasan dan pemerintahan tidak akan mengubah hal tersebut. Saya hanyalah seorang anak kecil namun begitu saya tahu bahwa kita semua menghadapi permasalahan yang sama dan kita seharusnya bersatu untuk tujuan yang sama. Walaupun marah, namun saya tidak buta, dan walaupun takut, saya tidak ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan. Di negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia-nyiaan. Kami membeli sesuatu dan kemudian membuang nya, beli dan kemudian buang. Walaupun begitu tetap saja negara-negara di Utara tidak akan berbagi dengan mereka yang memerlukan. Bahkan ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk kehilangan sebagian kekayaan kita, kita takut untuk berbagi. Di Kanada kami memiliki kehidupan yang nyaman, dengan sandang, pangan dan papan yang berkecukupan - kami memiliki jam tangan, sepeda, komputer dan perlengkapan televisi. Dua hari yang lalu di Brazil sini, kami terkejut ketika kami menghabiskan waktu dengan anak-anak yang hidup di jalanan. Dan salah satu anak tersebut memberitahukan kepada kami: “Aku berharap aku kaya, dan jika aku kaya, aku akan memberikan anak-anak jalanan makanan, pakaian dan obat-obatan, tempat tinggal, cinta dan kasih sayang." Jika seorang anak yang berada dijalanan dan tidak memiliki apapun, bersedia untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih begitu serakah? Saya tidak dapat berhenti memikirkan bahwa anak-anak tersebut berusia sama dengan saya, bahwa tempat kelahiran anda dapat membuat perbedaan yang begitu besar, bahwa saya bisa saja menjadi salah satu dari anak-anak yang hidup di Favellas di Rio; saya bisa saja menjadi anak yang kelaparan di Somalia; seorang korban perang timur tengah atau pengemis di India . Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa jika semua uang yang dihabiskan untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa indah jadinya dunia ini. Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak, anda mengajarkan kami untuk berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan orang lain, untuk mencari jalan keluar, membereskan kekacauan yang kita timbulkan; untuk tidak menyakiti makhluk hidup lain, untuk berbagi dan tidak tamak. Lalu mengapa anda kemudian melakukan hal yang anda ajarkan pada kami supaya tidak boleh dilakukan tersebut? Jangan lupakan mengapa anda menghadiri konperensi ini, mengapa anda melakukan hal ini - kami adalah anak-anak anda semua. Anda sekalianlah yang memutuskan, dunia seperti apa yang akan kami tinggali. Orang tua seharus nya dapat memberikan kenyamanan pada anak-anak mereka dengan mengatakan, "Semuanya akan baik-baik saja , kami melakukan yang terbaik yang dapat kami lakukan dan ini bukanlah akhir dari segalanya." Tetapi saya tidak merasa bahwa anda dapat mengatakan hal tersebut kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas anda semua? Ayah saya selalu berkata, "Kamu akan selalu dikenang karena perbuatanmu, bukan oleh kata-katamu.” Jadi, apa yang anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari. Kalian orang dewasa berkata bahwa kalian menyayangi kami. Saya menantang A N D A , cobalah untuk mewujudkan kata-kata tersebut. Sekian dan terima kasih atas perhatiannya. *********** Servern Cullis-Suzuki telah membungkam satu ruang sidang Konperensi PBB, membungkam seluruh orang-orang penting dari seluruh dunia hanya dengan pidatonya. Setelah pidatonya selesai serempak seluruh orang yang hadir diruang pidato tersebut berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah kepada anak berusia 12 tahun itu. Dan setelah itu, ketua PBB mengatakan dalam pidatonya: "Hari ini saya merasa sangatlah malu terhadap diri saya sendiri karena saya baru saja disadarkan betapa pentingnya linkungan dan isinya disekitar kita oleh anak yang hanya berusia 12 tahun, yang maju berdiri di mimbar ini tanpa selembarpun naskah untuk berpidato. Sedangkan saya maju membawa berlembar naskah yang telah dibuat oleh asisten saya kemarin. Saya ... tidak kita semua dikalahkan oleh anak yang berusia 12 tahun."

ASWAJA

MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH: SEBUAH RINGKASAN1 Dengan timbulnya bermacam-macam aliran / madzhab dalam Islam sehingga banyak membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat, tentu kita sebagai umat Islam harus punya pilihan yang tepat dan benar. Terkait dengan ini, Nahdhatul Ulama (NU) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam menjalankan ajaran agama Islam memilih mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pilihan NU dan PMII sangat argumentatif karena berdasarkan pada Hadits Nabi (lihat sabda Nabi riwayat Ibnu Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Berikut ini, penulis akan mencoba untuk mengurai secara singkat tentang Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam perspektif NU dan PMII A. Pengertian Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun, kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.  Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS. Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)  As-sunnah secara etimologi adalah At-thariqah, yaitu jalan / sistem / cara / tradisi. Sedangkan menurut terminologi ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW.  Al-Jama’ah secara etimologi berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya. Sedangkan menurut terminologi ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam. Dengan demikian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid maupun fiqih dengan mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal. Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan Shahabat-shahabat beliau. B. Sejarah dikenalnya Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrosydin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke-II H. Sejarahnya sebagai berikut: Seorang ulama besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah Majelis Ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, Washil bin ‘Atha adalah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dengan murid “ tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar”. Apakah ia masih tetap mu’min atau tidak ? Menurut Al-Imam Hasan Al-Bashry, dia tetap mu’min selama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist karena imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist. Tetapi menurut muridnya Washil bin ‘Atha orang mu’min yang melakukan dosa besar sudah bukan mu’min lagi, dia berpegang pada akalnya. Bagaimana seorang mu’min melakukan dosa besar ?, berarti iman yang ada padanya adalah iman dusta. Semenjak itulah maka para ulama yang mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist daripada dalil akal mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama, kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah C. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid Di dalam mempelajari ilmu tauhid madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan dalil-dalil Aqli ( rasio ) dan Naqli ( Qur’an dan Hadist ). Namun dalam operasionalisasinya, madzhab ini mendahulukan dalil naqli daripada dalil aqli. Akal manusia diibaratkan mata, kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata (akal manusia) mengikuti pelita (dalil Qur’an dan Hadist) bukan Qur’an dan Hadist yang disesuaikan dengan akal manusia. D. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih Di dalam menentukan hukum fiqih madzhab Aswaja bersumber pada 3 pokok, yaitu:  Al-Qur’an  As-Sunnah  Ijtihad (Ijma’ dan Qiyas) E. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Tauhid  Imam Abul Hasan Al-Asy’ari ( 260-324 )  Imam Abul Mansur Al-Maturidi ( Wafat 333 H ) I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:  Tentang Ketuhanan  Tentang Malaikat-malaikat Allah  Tentang Kitab-kitab Allah  Tentang Rasul-rasul Allah  Tentang Hari Akhir  Tentang Qadha dan Qadar F. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Fiqih  Imam Hanafi ( 80-150 H )  Imam Maliki ( 93-179 H )  Imam Syafi’i ( 150-204 H )  Imam Hambali ( 164-248 H) G. Metode Aswaja dalam memutuskan masalah Di dalam memutuskan sesuatu masalah, tentu kita dapat memutuskan dengan cepat. Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut tetapi kita harus meneliti dalam menentukan hukum. Pertama : kita melihat perbuatan tersebut ada perintahnya dalam al-quran dan as-Sunnah ?, Kedua : Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut, tidak ada baik dalam al-quran maupun as-Sunnah kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut ?, ketiga : kalau perintah dan larangan terhadap perbuatan tersebut tidak ada dalam al-quran dan as-Sunnah, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama ?, keempat : kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada mudaratnya ( bahayanya ) terhadap agama ?, setelah tahapan – tahapan tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum :  Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari wajib atau sunnah  Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas dari haram atau makruh  Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )  Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram  Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq Keterangan: 1. Makalah ini disampaikan pada acara MAPABA PMII Komisariat Perguruang Tinggi Setia Budhi Rangkasbitung yang diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober 2009 di Auditorium YPI Al Wadah Jawilan Serang 2. Penulis adalah Sekretaris Majelis Pembina Cabang PMII Kabupaten Lebak MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH: SEBUAH RINGKASAN1 Dengan timbulnya bermacam-macam aliran / madzhab dalam Islam sehingga banyak membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat, tentu kita sebagai umat Islam harus punya pilihan yang tepat dan benar. Terkait dengan ini, Nahdhatul Ulama (NU) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam menjalankan ajaran agama Islam memilih mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pilihan NU dan PMII sangat argumentatif karena berdasarkan pada Hadits Nabi (lihat sabda Nabi riwayat Ibnu Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Berikut ini, penulis akan mencoba untuk mengurai secara singkat tentang Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam perspektif NU dan PMII A. Pengertian Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun, kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.  Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS. Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)  As-sunnah secara etimologi adalah At-thariqah, yaitu jalan / sistem / cara / tradisi. Sedangkan menurut terminologi ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW.  Al-Jama’ah secara etimologi berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya. Sedangkan menurut terminologi ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam. Dengan demikian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid maupun fiqih dengan mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal. Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan Shahabat-shahabat beliau. B. Sejarah dikenalnya Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrosydin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke-II H. Sejarahnya sebagai berikut: Seorang ulama besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah Majelis Ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, Washil bin ‘Atha adalah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dengan murid “ tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar”. Apakah ia masih tetap mu’min atau tidak ? Menurut Al-Imam Hasan Al-Bashry, dia tetap mu’min selama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist karena imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist. Tetapi menurut muridnya Washil bin ‘Atha orang mu’min yang melakukan dosa besar sudah bukan mu’min lagi, dia berpegang pada akalnya. Bagaimana seorang mu’min melakukan dosa besar ?, berarti iman yang ada padanya adalah iman dusta. Semenjak itulah maka para ulama yang mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist daripada dalil akal mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama, kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah C. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid Di dalam mempelajari ilmu tauhid madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan dalil-dalil Aqli ( rasio ) dan Naqli ( Qur’an dan Hadist ). Namun dalam operasionalisasinya, madzhab ini mendahulukan dalil naqli daripada dalil aqli. Akal manusia diibaratkan mata, kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata (akal manusia) mengikuti pelita (dalil Qur’an dan Hadist) bukan Qur’an dan Hadist yang disesuaikan dengan akal manusia. D. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih Di dalam menentukan hukum fiqih madzhab Aswaja bersumber pada 3 pokok, yaitu:  Al-Qur’an  As-Sunnah  Ijtihad (Ijma’ dan Qiyas) E. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Tauhid  Imam Abul Hasan Al-Asy’ari ( 260-324 )  Imam Abul Mansur Al-Maturidi ( Wafat 333 H ) I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:  Tentang Ketuhanan  Tentang Malaikat-malaikat Allah  Tentang Kitab-kitab Allah  Tentang Rasul-rasul Allah  Tentang Hari Akhir  Tentang Qadha dan Qadar F. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Fiqih  Imam Hanafi ( 80-150 H )  Imam Maliki ( 93-179 H )  Imam Syafi’i ( 150-204 H )  Imam Hambali ( 164-248 H) G. Metode Aswaja dalam memutuskan masalah Di dalam memutuskan sesuatu masalah, tentu kita dapat memutuskan dengan cepat. Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut tetapi kita harus meneliti dalam menentukan hukum. Pertama : kita melihat perbuatan tersebut ada perintahnya dalam al-quran dan as-Sunnah ?, Kedua : Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut, tidak ada baik dalam al-quran maupun as-Sunnah kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut ?, ketiga : kalau perintah dan larangan terhadap perbuatan tersebut tidak ada dalam al-quran dan as-Sunnah, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama ?, keempat : kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada mudaratnya ( bahayanya ) terhadap agama ?, setelah tahapan – tahapan tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum :  Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari wajib atau sunnah  Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas dari haram atau makruh  Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )  Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram  Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq Keterangan: 1. Makalah ini disampaikan pada acara MAPABA PMII Komisariat Perguruang Tinggi Latansa Mashiro Rangkasbitung yang diselenggarakan pada tanggal 24 Oktober 2009 di Yayasan Amanah Bunda Kumpay Banjarsari Lebak 2. Penulis adalah Sekretaris Majelis Pembina Cabang PMII Kabupaten Lebak MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH: SEBUAH RINGKASAN1 Dengan timbulnya bermacam-macam aliran / madzhab dalam Islam sehingga banyak membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat, tentu kita sebagai umat Islam harus punya pilihan yang tepat dan benar. Terkait dengan ini, Nahdhatul Ulama (NU) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam menjalankan ajaran agama Islam memilih mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pilihan NU dan PMII sangat argumentatif karena berdasarkan pada Hadits Nabi. Berikut ini, penulis akan mencoba untuk mengurai secara singkat tentang Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam perspektif NU dan PMII A. Pengertian Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun, kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.  Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS. Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)  As-sunnah secara etimologi adalah At-thariqah, yaitu jalan / sistem / cara / tradisi. Sedangkan menurut terminologi ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW.  Al-Jama’ah secara etimologi berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya. Sedangkan menurut terminologi ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam. Dengan demikian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid maupun fiqih dengan mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal. Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan Shahabat-shahabat beliau. B. Sejarah dikenalnya Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrosydin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke-II H. Sejarahnya sebagai berikut: Seorang ulama besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah Majelis Ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, Washil bin ‘Atha adalah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dengan murid “ tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar”. Apakah ia masih tetap mu’min atau tidak ? Menurut Al-Imam Hasan Al-Bashry, dia tetap mu’min selama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist karena imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist. Tetapi menurut muridnya Washil bin ‘Atha orang mu’min yang melakukan dosa besar sudah bukan mu’min lagi, dia berpegang pada akalnya. Bagaimana seorang mu’min melakukan dosa besar ?, berarti iman yang ada padanya adalah iman dusta. Semenjak itulah maka para ulama yang mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist daripada dalil akal mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama, kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah C. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid Di dalam mempelajari ilmu tauhid madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan dalil-dalil Aqli ( rasio ) dan Naqli ( Qur’an dan Hadist ). Namun dalam operasionalisasinya, madzhab ini mendahulukan dalil naqli daripada dalil aqli. Akal manusia diibaratkan mata, kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata (akal manusia) mengikuti pelita (dalil Qur’an dan Hadist) bukan Qur’an dan Hadist yang disesuaikan dengan akal manusia. D. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih Di dalam menentukan hukum fiqih madzhab Aswaja bersumber pada 3 pokok, yaitu:  Al-Qur’an  As-Sunnah  Ijtihad E. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Tauhid  Imam Abul Hasan Al-Asy’ari ( 260-324 )  Imam Abul Mansur Al-Maturidi ( Wafat 333 H ) I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:  Tentang Ketuhanan  Tentang Malaikat-malaikat Allah  Tentang Kitab-kitab Allah  Tentang Rasul-rasul Allah  Tentang Hari Akhir  Tentang Qadha dan Qadar F. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Fiqih  Imam Hanafi ( 80-150 H )  Imam Maliki ( 93-179 H )  Imam Syafi’i ( 150-204 H )  Imam Hambali ( 164-248 H) G. Metode Aswaja dalam memutuskan masalah Di dalam memutuskan sesuatu masalah, tentu kita dapat memutuskan dengan cepat. Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut tetapi kita harus meneliti dalam menentukan hukum. Pertama : kita melihat perbuatan tersebut ada perintahnya dalam al-quran dan as-Sunnah ?, Kedua : Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut, tidak ada baik dalam al-quran maupun as-Sunnah kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut ?, ketiga : kalau perintah dan larangan terhadap perbuatan tersebut tidak ada dalam al-quran dan as-Sunnah, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama ?, keempat : kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada mudaratnya ( bahayanya ) terhadap agama ?, setelah tahapan – tahapan tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum :  Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari wajib atau sunnah  Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas dari haram atau makruh  Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )  Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram  Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq Catatan: 3. Makalah ini disampaikan pada acara MAPABA PMII Komisariat STAI Wasilatul Falah Rangkasbitung pada tanggal 14 Desember 2008 bertempat di Waduk Karian-Sajira 4. Penulis adalah dosen STAI Wasilatul Falah Rangkasbitung, STAI Latansa Mashiro Rangkasbitung dan STAI Assalamiyah Jawilan-Serang ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL FIKR A. Pendahuluan Melacak akar sejarah munculnya istilah ahlu sunnah waljama’ah (aswaja), bahwa aswaja sudah terkenal sejak zaman Muhammad Rasulullah SAW (lihat sabda Nabi riwayat Ibnu Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Sebagai konfigurasi sejarah, maka aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’i (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni, disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh dua tokoh di tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M) di Mesopotamia, dan Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand. Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh al-Asy’ari sudah keluar dari paham yang semestinya. Aswaja dalam konteks Indonesia, sebagaimana yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bahwa aswaja bukan hanya sekedar faham/madzhab, tetapi aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al fikr) keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri di atas prinsip keseimbangan dalam akidah, penengah dan perekat dalam sistem kehidupan sosial serta keadilan dan toleransi. Dari sinilah PMII menggunakan aswaja sebagai manhaj al fikr dalam landasan gerak B. Aswaja Sebagai Manhaj al Fikr Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik dapat dikategorikan menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok rasionalis yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang pelapori oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok tekstualis yang dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf yang dimunculkan oleh Ibnu Taimiyah dan generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syi’ah dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Di dalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevansinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun. Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Prof. Dr. Said Aqil Siradj, MA pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam. Dalam perkembangannya, rumusan baru Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip utama dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi; tawasuth (mederat), tasamuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan ta’adul (keadilan). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah manifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang berikutnya adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan memposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis. C. Penutup Secara sederhana dapat dimabil benang merahnya bahwa substansi aswaja sebagai manhaj al fikr adalah tawasuth (moderat: berdiri tengah-tengah), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan ta’addul (adil). Berarti, yang menjadi Standarisasi aswaja adalah nilai-nilai kemoderatan. Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfa’at dan memberikan angin segar untuk kader PMII agar bisa bertambah moderat, sehingga bisa mengayomi dan berdiri secara adil di tengah-tengah golongan yang ada. Dan yang penting lagi adalah bisa menjadi pioner terwujudnya misi Islam sebagai rahmataallil alamin. Yaitu Islam yang menebarkan kemaslahatan, kasih sayang dan kedamaian bagi seluruh alam, bukan Islam yang galak, menakutkan, dan mudah memuncratkan darah orang lain. Wallahu A’lamu Bi El Shawab Catatan: Tulisan sederhana ini disampaikan pada acara Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Lebak hari Rabu tanggal 29 Juli 2009 di Gedung SKB Sajira MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH: SEBUAH RINGKASAN1 Dengan timbulnya bermacam-macam aliran / madzhab dalam Islam sehingga banyak membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat, tentu kita sebagai umat Islam harus punya pilihan yang tepat dan benar. Terkait dengan ini, Nahdhatul Ulama (NU) dalam menjalankan ajaran agama Islam memilih mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pilihan NU sangat argumentatif karena berdasarkan pada Hadits Nabi (lihat sabda Nabi riwayat Ibnu Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Berikut ini, penulis akan mencoba untuk mengurai secara singkat tentang Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam perspektif NU. A. Pengertian Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun, kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.  Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS. Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)  As-sunnah secara etimologi adalah At-thariqah, yaitu jalan / sistem / cara / tradisi. Sedangkan menurut terminologi ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW.  Al-Jama’ah secara etimologi berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya. Sedangkan menurut terminologi ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam. Dengan demikian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid maupun fiqih dengan mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal. Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan Shahabat-shahabat beliau. B. Sejarah dikenalnya Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrosydin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad II H. Sejarahnya sebagai berikut: Seorang ulama besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah Majelis Ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, Washil bin ‘Atha adalah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dengan murid “ tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar”. Apakah ia masih tetap mu’min atau tidak ? Menurut Al-Imam Hasan Al-Bashry, dia tetap mu’min selama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist karena imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist. Tetapi menurut muridnya Washil bin ‘Atha orang mu’min yang melakukan dosa besar sudah bukan mu’min lagi, dia berpegang pada akalnya. Bagaimana seorang mu’min melakukan dosa besar ?, berarti iman yang ada padanya adalah iman dusta. Semenjak itulah maka para ulama yang mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist daripada dalil akal mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama, kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah C. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid Di dalam mempelajari ilmu tauhid madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan dalil-dalil Aqli ( rasio ) dan Naqli ( Qur’an dan Hadist ). Namun dalam operasionalisasinya, madzhab ini mendahulukan dalil naqli daripada dalil aqli. Akal manusia diibaratkan mata, kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata (akal manusia) mengikuti pelita (dalil Qur’an dan Hadist) bukan Qur’an dan Hadist yang disesuaikan dengan akal manusia. D. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih Di dalam menentukan hukum fiqih madzhab Aswaja bersumber pada 3 pokok, yaitu:  Al-Qur’an  As-Sunnah  Ijtihad E. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Tauhid  Imam Abul Hasan Al-Asy’ari ( 260-324 )  Imam Abul Mansur Al-Maturidi ( Wafat 333 H ) I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:  Tentang Ketuhanan  Tentang Malaikat-malaikat Allah  Tentang Kitab-kitab Allah  Tentang Rasul-rasul Allah  Tentang Hari Akhir  Tentang Qadha dan Qadar F. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Fiqih  Imam Hanafi ( 80-150 H )  Imam Maliki ( 93-179 H )  Imam Syafi’i ( 150-204 H )  Imam Hambali ( 164-248 H) G. Metode Aswaja dalam memutuskan masalah Di dalam memutuskan sesuatu masalah, tentu kita dapat memutuskan dengan cepat. Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut tetapi kita harus meneliti dalam menentukan hukum. Pertama : kita melihat perbuatan tersebut ada perintahnya dalam al-quran dan as-Sunnah ?, Kedua : Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut, tidak ada baik dalam al-quran maupun as-Sunnah kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut ?, ketiga : kalau perintah dan larangan terhadap perbuatan tersebut tidak ada dalam al-quran dan as-Sunnah, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama ?, keempat : kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada mudaratnya ( bahayanya ) terhadap agama ?, setelah tahapan – tahapan tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum :  Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari wajib atau sunnah  Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas dari haram atau makruh  Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )  Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram  Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq Catatan: 1. Tulisan ini disampaikan pada acara MAKESTA IPNU-IPPNU Kabupaten Lebak pada hari Ahad tanggal 09 Agustus 2009 di Auditorium YPI Nurul Falah Pasir Malang Kecamatan Cibadak Kabupaten Lebak 2. Penulis adalah Dewan Pembina PC IPNU Lebak, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatus Sholihin Cisalam, Dosen STAI Wasilatul Falah dan STAI Latansa Mashiro Rangkasbitung RINGKASAN TA’ALLUQ SIFAT MA’ANI A. Ta’alluq Sifat Qudrat Secara garis besar ta’alluq sifat qudrat terbagi tiga, yaitu: 1. Ta’alluq Ifadah (gunanya sifat qudrot), yaitu untuk mengadakan (ijad) makhluk dan meniadakan (I’dam) makhluk setelah ada. 2. Ta’alluq Ta’diyyah (sasaran sifat Qudrat), yaitu mukminul wujud (seluruh yang mungkin adanya). Sifat qudrat tidak ta’alluq kepada yang wajibul wujud dan mustahilul wujud 3. Ta’alluq Marotib (tingkatan), artinya sifat qudrot mempunyai delapan tingkatan persambungan, yaitu: a. Suluhi Qodim, yaitu ketika makhluk belum diciptakan qudrotullah menyambung dengan shuluhi qoddim, shuluhi berarti lulus dan mampu, qodim berarti qudrotulloh tidak ada permulaan, maka shuluhi qodim berarti qudrotulloh pada waktu belum menciptakan makhluk menyambung dengan melaksanakan kekuasaan-Nya. b. Ta’alluq sifat qudrot pada qobdloh awwal, yaitu setelah lauhil mahfudz diciptakan dan makhluk yang lain belum diciptakan, maka qodrotulloh waktu itu menyambung kepada qobdloh awwal artinya, penyusunan penciptaan yang sewaktu-waktu dapat dirubah dan dapat pula ditetapkan (QS Ar-Ra’du ayat 39) c. Tanjizi Hadist Awwal yaitu mengadakan (ijad) sesuatu yang telah terdaftar di lauhil mahfudz. d. Ta’alluq sifat qudrot pada qobdloh kedua, yaitu qudrotillah yang digunakan untuk menggenggam (menetapkan) sesuatu dalam keberadaannya, setelah diproses oleh tanzizi hadist pertama. Dan keberadaan seseuatu itu tidak dapat lepas dari genggaman Allah. e. Ttanjizi hadist kedua, yaitu qudrotullah yang digunakan untuk meniadakan (I’dam) makhluk yang berada di qobdloh kedua. f. Ta’alluq sifat qudrot pada qobdloh ke tiga, yaitu qodrotullah yang digunakan untuk menggenggam manusia di alam barzakh. g. Tanzizi hadist ke tiga, yaitu qudrotullah yang digunakan untuk membangunkan (ba’ats) makhluk setelah qiyamat h. Ta’aluq sifat qudrot pada qobdloh ke empat, yaitu qudrotullah yang mengabadikan makhluk setelah ba’ats (bangun dari kubur). B. Ta’alluq sifat irodat Sifat irodat mempunyai 3 (tiga) ta’alluq : 1.Ta’alluq ifadah (kegunaan) Kegunaan/fungsi sifat irodat adalah “Lit-Takhshish” artinya untuk menentukan antara dua tandingan, ada dan tidak adanya sesuatu. 2. Ta’alluq ta’diyyah (sasaran sifat irodat) sasaran sifat irodat adalah seluruh makhluk yang mukminul wujud sebab yang direncanakan oleh Allah hanya mumkinul wujud, tidak akan merencanakan yang wajibul wujud dan yang mustahil wujud. 3. Ta’alluq marotib (tingkatan) a. Shuluhi qodim, yaitu kemampuan Allah untuk berkehendak sebelum menciptakan makhluk, yakni Allah telah mampu merencanakan sesuatu diantara dua tandingan antara ada dan tidak ada b. Tanjizi qodim, yaitu praktiknya Allah untuk menentukan sesuatu diantara dua tandingan tersebut. c. Tanjizi hadist, yaitu penentuan terakhir sebelum ditakdirkannya (Menurut sebagian Ulama sifat iradat tidak memiliki ta’alluq tanjizi hadits). C. Ta’alluq Sifat ‘Ilmu Sifat ilmu memiliki tiga t’alluq: 1. Ta’alluq ifadah (kegunaan), yaitu ilmu Allah menjelaskan seluruh perkara yang maujud 2. Ta’alluq ta’diyyah (sasaran), yaitu semua yang wajibul wujud (dzat allah dan sifatnya), yang mustahilul wujud seperti abadinya alam, dan yang mukminul wujud seperti adanya makhluk, semuanya diketahui oleh Allah. 3. Ta’alluq marotib (tingkatan), yaitu kontak ilmu Allah tanjizi qodim kepada seluruh perkara, artinya Allah mengetahui dari azali, baik perkara yang sudah ada maupun yang akan ada. D. Ta’alluq Sifat Hayat Sifat hayat hanya mempunyai ta’alluq ifadah / kegunaan yakni “at-tashhih” artinya untuk mengesahkan adanya sifat-sifat yang lain di Allah, sebab kalau Allah tidak hayat /hidup tidak akan memiliki sifat-sifat yang lain. Sifat hayat tidak memiliki ta’alluq ta’diyah dan ta’alluq marotib E. Ta’alluq Sifat Sama’ Sifat sama’ mempunyai 3 ta’alluq (hubungan), yaitu: 1. Ta’alluq ifadah (kegunaan), yakni INKISYAF, artinya membukakan semua yang ada, baik mumkinul wujud maupun wajibul wujud semuanya terdengar oleh Allah, suara ataupun bukan suara (dzat). 2. Ta’alluq Ta’diyyah (sasaran) Sasaran sifat sama’ adalah semua yang ada (maujudat), baik wajibul wujud maupun mukminul wujud, baik yang dapat ditemukan oleh panca indra maupupun yang ditemukan oleh akal semuanya terdengar oleh Allah yang memiliki sifat sama’ 3. Ta’alluq marotib (tingkatan) a. Tanjiziz qodim, artinya Allah mendengar kepada dzat dan sifat-Nya sendiri dan tidak ada permulaan. b. Shuluhi qodim, artinya Allah mampu mendengar segala sesuatu yang akan diciptakan. c. Tanjizi hadist, artinya kontaknya sifat sama’ /mendengarnya Allah kepada makhluk yang telah diciptakan (sedang ada). F. Ta’alluq Sifat Bashor Sifat bashor mempunyai tiga ta’alluq 1. Ta’alluq ifadah (kegunaan), yakni INKISYAF, artinya membuka (melihat) yang maujudat. 2. Ta’alluq ta’diyyah (sasaran) Sasaran sifat bashor adalah semua yang ada (maujudat) , baik mukminul wujud maupun wajibul wujud, semuanya terlihat oleh Allah yang mempunyai sifat bashor 3. Ta’alluq marotib (tingkatan): a. Tanjizi qodim, yakni kontaknya penglihatan Allah kepada dzat Allah dan sifat-Nya. b. Shuluhi qodim, yakni kontaknya penglihatan Allah dengan makhluk yang akan diciptakan. c. Tanjizi hadist, yakni kontaknya penglihatan Allah kepada seluruh makhluk yang telah diciptakan (sedang ada). G. Ta’alluq Sifat Kalam Sifat kalam mempunyai tiga ta’alluq, yaitu: 1. Ta’alluq ifadah (kegunaan) Kegunaan sifat kalam adalah DILALAH, artinya, Allah memberi petunjuk kepada makhluk-Nya dengan firman-firman-Nya. 2. Ta’alluq ta’diyyah (sasaran), Sasaran sifat kalam adalah AL-ASYYA (semua perkara), baik wajibul wujud, mustahil wujud atau mukminul wujud, yakin semuanya difirmankan oleh Allah. 3. ta’alluq marotib (tingkatan) a. Tanjizi qodim, yakni firman Allah selain amar dan nahyi, yang tidak ada permulaan. b. Shuluhi qodim, yakni kemampuan Allah untuk memerintah dan melarang sebelum makhluk-Nya ada, atau sebelum perintah dan larangan tersebut disampaikan. c. Tanjizi hadist, yakni firman Allah yang berisikan perintah dan larangan setelah ada yang diperintahkan atau yang dilarang Wallahu A’lamu Bisshawab Keterangan: Ringkasan ta’alluq sifat ma’ani ini diambil dari Aqidah Islamiyah, Fathul Majid, Tuhfatul Murid ‘Ala Jauharatit Tauhid, dan Addasuqi ‘Ala Ummil Barohin MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH: SEBUAH RINGKASAN Dengan timbulnya bermacam-macam aliran / madzhab dalam Islam sehingga banyak membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat, tentu kita sebagai umat Islam harus punya pilihan yang tepat dan benar. Terkait dengan ini, Nahdhatul Ulama (NU) dalam menjalankan ajaran agama Islam memilih mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pilihan NU sangat argumentatif karena berdasarkan pada Hadits Nabi (lihat sabda Nabi riwayat Ibnu Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Berikut ini, penulis akan mencoba untuk mengurai secara singkat tentang Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam perspektif NU. A. Pengertian Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun, kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.  Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS. Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)  As-sunnah secara etimologi adalah At-thariqah, yaitu jalan / sistem / cara / tradisi. Sedangkan menurut terminologi ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW.  Al-Jama’ah secara etimologi berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya. Sedangkan menurut terminologi ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam. Dengan demikian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid maupun fiqih dengan mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal. Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan Shahabat-shahabat beliau. B. Sejarah dikenalnya Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrosydin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad II H. Sejarahnya sebagai berikut: Seorang ulama besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah Majelis Ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, Washil bin ‘Atha adalah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dengan murid “ tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar”. Apakah ia masih tetap mu’min atau tidak ? Menurut Al-Imam Hasan Al-Bashry, dia tetap mu’min selama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist karena imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist. Tetapi menurut muridnya Washil bin ‘Atha orang mu’min yang melakukan dosa besar sudah bukan mu’min lagi, dia berpegang pada akalnya. Bagaimana seorang mu’min melakukan dosa besar ?, berarti iman yang ada padanya adalah iman dusta. Semenjak itulah maka para ulama yang mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist daripada dalil akal mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama, kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah C. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid Di dalam mempelajari ilmu tauhid madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan dalil-dalil Aqli ( rasio ) dan Naqli ( Qur’an dan Hadist ). Namun dalam operasionalisasinya, madzhab ini mendahulukan dalil naqli daripada dalil aqli. Akal manusia diibaratkan mata, kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata (akal manusia) mengikuti pelita (dalil Qur’an dan Hadist) bukan Qur’an dan Hadist yang disesuaikan dengan akal manusia. D. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih Di dalam menentukan hukum fiqih madzhab Aswaja bersumber pada 3 pokok, yaitu:  Al-Qur’an  As-Sunnah  Ijtihad (ijma’ dan qiyas) E. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Tauhid  Imam Abul Hasan Al-Asy’ari ( 260-324 )  Imam Abul Mansur Al-Maturidi ( Wafat 333 H ) I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:  Tentang Ketuhanan  Tentang Malaikat-malaikat Allah  Tentang Kitab-kitab Allah  Tentang Rasul-rasul Allah  Tentang Hari Akhir  Tentang Qadha dan Qadar F. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Fiqih  Imam Hanafi ( 80-150 H )  Imam Maliki ( 93-179 H )  Imam Syafi’i ( 150-204 H )  Imam Hambali ( 164-248 H) G. Metode Aswaja dalam memutuskan masalah Di dalam memutuskan sesuatu masalah, tentu kita dapat memutuskan dengan cepat. Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut tetapi kita harus meneliti dalam menentukan hukum. Pertama : kita melihat perbuatan tersebut ada perintahnya dalam al-quran dan as-Sunnah ?, Kedua : Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut, tidak ada baik dalam al-quran maupun as-Sunnah kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut ?, ketiga : kalau perintah dan larangan terhadap perbuatan tersebut tidak ada dalam al-quran dan as-Sunnah, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama ?, keempat : kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada mudaratnya ( bahayanya ) terhadap agama ?, setelah tahapan – tahapan tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum :  Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari wajib atau sunnah  Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas dari haram atau makruh  Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )  Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram  Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq Keterangan: Penulis adalah ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Kabupaten Lebak, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan FSPP Kabupaten Lebak dan Sekretaris Komisi Fatwa Hukum dan Perundang-undanga MUI Kabupaten Lebak MENGENAL POLITIK ISLAM (FIQH SIYASAH) Oleh Asep Saefullah, S.PdI., M.Pd. Dalam Agama Islam, bukan masalah Ibadah, Aqidah dan Akhlak saja yang dibahas. Akan tetapi tentang kemaslahatan umat juga dibahas dan diautr dalam Islam. Mengurai kemalahatan umat akan menjumpai banyak corak, salah satunya adalah politik Islam yang dalam bahasa Agama Islam disebut Fiqh Siyasah Apa Itu Politik Islam (Fiqh Siyasah) ? Sebelum mengurai apa itu politik Islam, ada baiknya terlebih dahulu mengurai politik secara umum. Dalam kajian teoritis umum, politik adalah sebuah teori dan cara untuk mengatur suatu negara untuk menuju sebuah ketatanegaraan yang aman dan damai. Ketika kata politik digabungkan dengan kata Islam (politik Islam) yang dalam bahasa agama Islam disebut fiqh siyasah maka dapat dilihat dari dua sudut, yaitu sudut etimologi dan terminology. Secara etimologi, fiqh siyasah terdiri dari dua kata, yaitu kata fiqh dan kata siyasah. Fiqih mengandung arti mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis melalui dalil-dalil yang terprinci. Sedangkan siyasah adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan. Secara terminology, fiqh siyasah (politik Islam) dapat diartikan sebagai materi yang membahas mengenai ketatanegaraan Islam yang di dalamnya mengatur tentang hubungan pemerintah dengan rakyatnya secara Islami dengan menitikberatkan pada upaya tercapainya kemaslahatan dan terhindar dari kemafsadatan (jalbul mashalih wa darul mafasid). Apa Saja Yang Menjadi Cakupan Politik Islam (Fiqh Siyasah) ? Sebagaimana diungkapkan oleh para ahli, bahwa fiqh siyasah mencakup 4 bidang, yaitu Siyaasah Dusturiyah, Siyasah Maliyah, Siyasah Dauliyah, dan Siyasah Harbiyah.  Siyasah Dusturiyah Siyasah Dusturiyah menurut tata bahasanya terdiri dari dua suku kata yaitu Siyasah dan Dusturiyah. Arti kata Siyasah sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan. Sedangkan Dusturiyah adalah undang-undang atau peraturan. Dengan demikian, Siyasah Dusturiyah adalah kebijakan yang diambil oleh kepala negara atau pemerintah dalam mengatur warga negaranya. Hal ini berarti Siyasah Dusturiyah adalah hal terpenting dalam suatu negara, karena menyangkut hal-hal yang mendasar dari suatu negara. Yaitu harmonisasi antara warga negara dengan kepala negaranya  Siyasah Maliyah Arti kata Maliyah adalah harta benda atau kekayaan. Siyasah Maliyah secara umum dapat diartikan sebagai pemerintahan yang mengatur keuangan Negara. Menurut Djazuli (2003) Siyasah Maliyah adalah hak dan kewajiban kepala negara untuk mengatur dan mengurus keungan negara guna kepentingan warga negaranya serta kemaslahatan umat. Sementara menurut Pulungan (2002) Siyasah Maliyah meliputi hal-hal yang menyangkut harta benda negara, pajak, dan Baitul Mal. Dari pembahasan di atas dapat kita garis bawahi bahwa Siyasah maliyah adalah hal-hal yang menyangkut kas negara dan keuangan negara yang berasal dari pajak, zakat, baitul mal serta pendapatan negara yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.  Siyasah Dauliyah Arti kata Dauliyah adalah daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang, atau kekuasaan. Menurut Pulungan (2002) Siyasah Dauliyah adalah kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, masalah teritorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing, mengurusi masalah kaum dzimi, perbedaan agama, hudud, dan qishash. Siyasah Dauliyah lebih mengarah pada pengaturan masalah kenegaraan yang bersifat luar negeri dan kedaulatan negara. Hal ini sangat penting guna kedaulatan negara untuk pengakuan dari negara lain.  Siyasah Harbiyah Arti kata Harbiyah adalah perang, keadaan darurat atau genting. Siyasah Harbiyah adalah pemerintah atau kepala negara mengatur dan mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak dan jaminan keamanan perang, perlakuan tawanan perang, harta rampasan perang, dan masalah perdamaian Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq

BAHASA JURNALISTIK INDONESIA

Bahasa jurnalistik sewajarnya didasarkan atas kesadaran terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme menghendaki kemampuan komunikasi cepat dalam ruangan serta waktu yang relatif terbatas. Meski pers nasional yang menggunakan bahasa Indonesia sudah cukup lama usianya, sejak sebelum tahun 1928 (tahun Sumpah Pemuda), tapi masih terasa perlu sekarang kita menuju suatu bahasa jurnalistik Indonesia yang lebih efisien. Dengan efisien saya maksudkan lebih hemat dan lebih jelas. Asas hemat dan jelas ini penting buat setiap reporter, dan lebih penting lagi buat editor. Di bawah ini diutarakan beberapa fasal, yang diharapkan bisa diterima para (calon) wartawan dalam usaha kita ke arah efisien penulisan. HEMAT Penghematan diarahkan ke penghematan ruangan dan waktu. Ini bisa dilakukan di dua lapisan: (1) unsur kata (2) unsur kalimat Penghematan Unsur Kata 1a) Beberapa kata Indonesia sebenarnya bisa dihemat tanpa mengorbankan tatabahasa dan jelasnya arti. Misalnya: agar supaya ................. agar, supaya akan tetapi ................. tapi apabila ................. bila sehingga ................. hingga meskipun ................. meski walaupun ................. walau tidak ................. tak (kecuali diujung kalimat atau berdiri sendiri). 1b) Kata daripada atau dari pada juga sering bisa disingkat jadi dari. Misalnya: ''Keadaan lebih baik dari pada zaman sebelum perang'', menjadi ''Keadaan lebih baik sebelum perang''. Tapi mungkin masih janggal mengatakan: ''Dari hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang''. 1c) Ejaan yang salahkaprah justru bisa diperbaiki dengan menghemat huruf. Misalnya: sjah ......... sah khawatir ......... kuatir akhli ......... ahli tammat ......... tamat progressive ......... progresif effektif ......... efektif Catatan: Kesulitan pokok kita di waktu yang lalu ialah belum adanya ejaan standard bahasa Indonesia. Kita masih bingung, dan berdebat, tentang: roch atau roh? Zaman atau jaman? Textil atau tekstil? Kesusasteraan atau kesusastraan? Tehnik atau teknik? Dirumah atau di rumah? Musah-mudahan dengan diputuskannya suatu peraturan ejaan standard, kita tak akan terus bersimpang-siur seperti selama ini. Ejaan merupakan unsur dasar bahasa tertulis. Sebagai dasar, ia pegang peranan penting dalam pertumbuhan bahasa, misalnya buat penciptaan kata baru, pemungutan kata dari bahasa lain dan sebagainya. 1d) Beberapa kata mempunyai sinonim yang lebih pendek. Misalnya: kemudian = lalu makin = kian terkedjut = kaget sangat = amat demikian = begitu sekarang = kini Catatan: Dua kata yang bersamaan arti belum tentu bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya soal perasaan. Dalam soal memilih sinonim yang telah pendek memang perlu ada kelonggaran, dengan mempertimbangkan rasa bahasa. Penghematan Unsur Kalimat Lebih efektif dari penghematan kata ialah penghematan melalui struktur kalimat. Banyak contoh pembikinan kalimat dengan pemborosan kata. 2a) Pemakaian kata yang sebenarnya tak perlu, di awal kalimat: - ''Adalah merupakan kenyataan, bahwa percaturan politik internasional berubahubah setiap zaman''. (Bisa disingkat: ''Merupakan kenyataan, bahwa ................''). - ''Apa yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro sudah jelas''. (Bisa disingkat: ''Yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro...........''). 2b) Pemakaian apakah atau apa (mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa ditiadakan: - ''Apakah Indonesia akan terus tergantung pada bantuan luar negeri''? (Bisa disingkat: ''Akan terus tergantungkah Indonesia.....''). - Baik kita lihat, apa(kah) dia di rumah atau tidak''. (Bisa disingkat: ''Baik kita lihat, dia di rumah atau tidak''). 2c) Pemakaian dari sebagai terjemahan of (Inggris) dalam hubungan milik yang sebenarnya bisa ditiadakan; Juga daripada. - ''Dalam hal ini pengertian dari Pemerintah diperlukan''. (Bisa disingkat: ''Dalam hal ini pengertian Pemerintah diperlukan''. - ''Sintaksis adalah bagian daripada Tatabahasa''. (Bisa disingkat: ''Sintaksis adalah bagian Tatabahasa''). 2d) Pemakaian untuk sebagai terjemahan to (Inggris) yang sebenarnya bisa ditiadakan: - ''Uni Soviet cenderung untuk mengakui hak-hak India''. (Bisa disingkat: ''Uni Soviet cenderung mengakui............''). - ''Pendirian semacam itu mudah untuk dipahami''. (Bisa disingkat: ''Pendirian semacam itu mudah dipahami''). - ''GINSI dan Pemerintah bersetuju untuk memperbaruhi prosedur barang-barang modal''. (Bisa disingkat: ''GINSI dan Pemerintah bersetuju memperbaruhi.......''). Catatan: Dalam kalimat: ''Mereka setuju untuk tidak setuju'', kata untuk demi kejelasan dipertahankan. 2e) Pemakaian adalah sebagai terjemahan is atau are (Inggris) tak selamanya perlu: - ''Kera adalah binatang pemamah biak''. (Bisa disingkat ''Kera binatang pemamah biak''). Catatan: Dalam struktur kalimat lama, adalah ditiadakan, tapi kata itu ditambahkan, misalnya dalam kalimat: ''Pikir itu pelita hati''. Kita bisa memakainya, meski lebih baik dihindari. Misalnya kalau kita harus menterjemahkan ''Man is a better driver than woman'', bisa mengacaukan bila disalin: ''Pria itu pengemudi yang lebih baik dari wanita''. 2f) Pembubuhan akan, telah, sedang sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa dihapuskan, kalau ada keterangan waktu: - ''Presiden besok akan meninjau pabrik ban Good year''. (Bisa disingkat: ''Presiden besok meninjau pabrik.........''). - ''Tadi telah dikatakan ........'' (Bisa disingkat: ''Tadi dikatakan.''). - ''Kini Clay sedang sibuk mempersiapkan diri''. (Bisa disingkat: ''Kini Clay mempersiapkan diri''). 2g) Pembubuhan bahwa sering bisa ditiadakan: - ''Pd. Gubernur Ali Sadikin membantah desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti''. - ''Tidak diragukan lagi bahwa ialah orangnya yang tepat''. (Bisa disingkat: ''Tak diragukan lagi, ialah orangnya yang tepat''.). Catatan: Sebagai ganti bahwa ditaruhkan koma, atau pembuka (:), bila perlu. 2h) Yang, sebagai penghubung kata benda dengan kata sifat, kadang-kadang juga bisa ditiadakan dalam konteks kalimat tertentu: - ''Indonesia harus menjadi tetangga yang baik dari Australia''. (Bisa disingkat: ''Indonesia harus menjadi tetangga baik Australia''). - ''Kami adalah pewaris yang sah dari kebudayaan dunia''. 2i) Pembentukan kata benda (ke + ..... + an atau pe + ........ + an) yang berasal dari kata kerja atau kata sifat, kadang, kadang, meski tak selamanya, menambah beban kalimat dengan kata yang sebenarnya tak perlu: - ''Tanggul kali Citanduy kemarin mengalami kebobolan''. (Bisa dirumuskan: ''Tanggul kali Citanduy kemarin bobol''). - ''PN Sandang menderita kerugian Rp 3 juta''. (Bisa dirumuskan: ''PN Sandang rugi Rp 3 juta''). - ''Ia telah tiga kali melakukan penipuan terhadap saya'' (Bisa disingkat: ''Ia telah tiga kali menipu saya''). - Ditandaskannya sekali lagi bahwa DPP kini sedang memikirkan langkah-langkah untuk mengadakan peremajaan dalam tubuh partai''. (Bisa dirumuskan: ''Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang memikirkan langkahlangkah meremajakan tubuh partai''). 2j) Penggunaan kata sebagai dalam konteks ''dikutip sebagai mengatakan'' yang belakangan ini sering muncul (terjemahan dan pengaruh bahasa jurnalistik Inggris & Amerika), masih meragukan nilainya buat bahasa jurnalistik Indonesia. Memang, dalam kalimat yang memakai rangkaian kata-kata itu (bahasa Inggrisnya ''quoted as saying'') tersimpul sikap berhati-hati memelihat kepastian berita. Kalimat ''Dirjen Pariwisata dikutip sebagai mengatakan......'' tak menunjukkan Dirjen Pariwisata secara pasti mengatakan hal yang dimaksud; di situ si reporter memberi kesan ia mengutipnya bukan dari tangan pertama, sang Dirjen Pariwisata sendiri. Tapi perlu diperhitungkan mungkin kata sebagai bisa dihilangkan saja, hingga kalimatnya cukup berbunyi: ''Dirjen Pariwisata dikutip mengatakan...........''. Bukankah masih terasa kesan bahwa si reporter tak mengutipnya dari tangan pertama? Lagipula, seperti sering terjadi dalam setiap mode baru, pemakaian sebagai biasa menimbulkan ekses. Contoh: Ali Sadikin menjelaskan tetang pelaksanaan membangun proyek miniatur Indonesia itu sebagai berkata: ''Itu akan dilakukan dalam tiga tahap'' Harian Kami, 7 Desember 1971, halaman 1). Kata sebagai dalam berita itu samasekali tak tepat, selain boros. 2k) Penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, juga bisa tak tepat dan boros. Dimana sebagai kataganti penanya yang berfungsi sebagai kataganti relatif muncul dalam bahasa Indonesia akibat pengaruh bahasa Barat. 1) Dr. C. A. Mees, dalam Tatabahasa Indonesia (G. Kolff & Co., Bandung, 1953 hal. 290-294) menolak pemakaian dimana. Ia juga menolak pemakaian pada siapa, dengan siapa, untuk diganti dengan susunan kalimat Indonesia yang ''tidak meniru jalan bahasa Belanda'', dengan mempergunakan kata tempat, kawan atau teman. Misalnya: ''orang tempat dia berutang'' (bukan: pada siapa ia berutang); ''orang kawannya berjanji tadi'' (bukan: orang dengan siapa ia berjanji tadi). Bagaimana kemungkinannya untuk bahasa jurnalistik? Misalnya: ''Rumah dimana saya diam'', yang berasal dari ''The house where I live in'', dalam bahasa Indonesia semula sebenarnya cukup berbunyi: ''Rumah yang saya diami''. Misal lain: ''Negeri dimana ia dibesarkan'', dalam bahasa Indonesia semula berbunyi: ''Negeri tempat ia dibesarkan''. Dari kedua misal itu terasa bahasa Indonesia semula lebih luwes, kurang kaku. Meski begitu tak berarti kita harus mencampakkan kata dimana sama sekali dari pembentukan kalimat bahasa Indonesia. Hanya sekali lagi perlu ditegaskan: penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, bisa tak tepat dan boros. Saya ambilkan 3 contoh ekses penggunaan dimana dari 3 koran: Kompas, 4 Desember 1971, halaman I: ''Penyakit itu dianggap berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) dimana konsentrasi besar mereka ada di Vietnam''. Sinar Harapan, 24 November 1971, halaman III: ''Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di Menado dewasa ini sedang menggarap 9 buah perkara tindak pidana korupsi, dimana ke-9 buah perkara tsb. sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya masih dalam pengusutan.'' Abadi, 6 Desember 1971, halaman II: ''Selanjutnya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dunia dewasa ini masih belum menentu, dimana secara tidak langsung telah dapat mempengaruhi usaha-usaha pemerintah di dalam menjaga kestabilan, baik untuk perluasan produksi ekonomi dan peningkatan ekspor''. Dalam ketiga contoh kecerobohan pemakaian dimana itu tampak: kata tersebut tak menerangkan tempat, melainkan hanya berfungsi sebagai penyambung satu kalimat dengan kalimat lain. Sebetulnya masing-masing bisa dirumuskan dengan lebih hemat: - ''Penyakit itu dianggap berasal (dan disebarkan) serdadu-serdadu Amerika (GI), yang konsentrasi besarnya ada di Vietnam''. - ''Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di Menado dewasa ini menggarap 9 perkara tindak pidana korupsi. Ke-9 perkata tsb. sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya (sisanya) masih dalam pengusutan''. - ''Selanjuntya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dewasa ini masih belum menentu. Hal ini secara tidak langsung telah dapat..... dst''. Perhatikan: 1. Kalimat itu dijadikan dua, selain bisa menghilangkan dimana, juga menghasilkan kalimat-kalimat pendek. 2. ''dewasa ini sedang'' cukup jelas dengan ''dewasa ini''. 3. kata ''9 buah'' bisa dihilangkan ''buah''-nya sebab kecuali dalam konteks tertentu, kata penunjuk-jenis (dua butir telor, 5 ekor kambing, 7 sisir pisang) kadangkadang bisa ditiadakan dalam bahasa Indonesia mutahir. 4. Kalimat dijadikan dua. Kalimat kedua ditambahi Hal ini atau cukup Ini diawalnya. 2l) Dalam beberapa kasus, kata yang berfungsi menyambung satu kalimat dengan kalimat lain sesudahnya juga bisa ditiadakan, asal hubungan antara kedua kalimat itu secara implisit cukup jelas (logis) untuk menjamin kontinyuitas. Misalnya: - ''Bukan kebetulan jika Gubernur menganggap proyek itu bermanfaat bagi daerahnya. Sebab 5 tahun mendatang, proyek itu bisa menampung 2500 tenaga kerja setengah terdidik''. (Kata sebab diawal kalimat kedua bisa ditiadakan: hubungan kausal antara kedua kalimat secara implisit sudah jelas). - ''Pelatih PSSI Witarsa mengakui kekurangan-kekurangan di bidang logistik anakanak asuhnya. Kemudian ia juga menguraikan perlunya perbaikan gizi pemain'' (Kata kemudian diawal kalimat kedua bisa ditiadakan; hubungan kronologis antara kedua kalimat secara implisit cukup jelas). Tak perlu diuraikan lebih lanjut, bahwa dalam hal hubungan kausal dan kronologi saja kata yang berfungsi menyambung dua kalimat yang berurutan bisa ditiadakan. Kata tapi, walau atau meski yang mengesankan ada yang yang mengesankan adanya perlawanan tak bisa ditiadakan. JELAS Setelah dikemukakan 16 pasal yang merupakan pedoman dasar penghematan dalam menulis, di bawah ini pedoman dasar kejelasan dalam menulis. Menulis secara jelas membutuhkan dua prasyarat: 1. Si penulis harus memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan juga pura-pura paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri. 2. Si penulis harus punya kesadaran tentang pembaca. Memahami betul soal-soal yang mau ditulisnya berarti juga bisa menguasai bahan penulisan dalam suatu sistematik. Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik hasil pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah pemikiran) hingga tulisannya cuma mengambang. Ada orang yang terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi dirinya: menulis terlalu panjang. Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan kedua macam orang itu tak bisa dipakai. Sebab penulisan jurnalistik harus disertai informasi faktuil atau detail pengalaman dalam mengamati, berwawancara dan membaca sumber yang akurat. Juga harus dituangkan dalam waktu dan ruangan yang tersedia. Lebih penting lagi ialah kesadaran tentang pembaca. Sebelum kita menulis, kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang pembaca kita: sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulisan saya ini mereka pahami? Satu hal yang penting sekali diingat: tulisan kita tak hanya akan dibaca seorang atau sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi. Pembaca harian atau majalah kita sebagian besar mungkin mahasiswa, tapi belum tentu semua tau sebagian besar mereka tahu apa dan siapanya W. S. Renda atau B. M. Diah. Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik yang jelas ialah: buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang yang yang belum tahu, tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa dicapai dengan praktek yang sungguh-sungguh dan terus-menerus. Sebuah tulisan yang jelas juga harus memperhitungkan syarat-syarat teknis komposisi: a. tanda baca yang tertib. b. ejaan yang tidak terlampau menyimpang dari yang lazim dipergunakan atau ejaan standard. c. pembagian tulisan secara sistematik dalam alinea-alinea. Karena bukan tempatnya di sini untuk berbicara mengenai komposisi, cukup kiranya ditekankan perlunya disiplin berpikir dan menuangkan pikiran dalam menulis, hingga sistematika tidak kalang-kabut, kalimat-kalimat tidak melayang kesana-kemari, bumbu-bumbu cerita tidak berhamburan menyimpang dari hal-hal yang perlu dan relevan. Menuju kejelasan bahasa, ada dua lapisan yang perlu mendapatkan perhatian: 1. unsur kata. 2. unsur kalimat. 1a. Berhemat dengan kata-kata asing. Dewasa ini begitu derasnya arus istilah-istilah asing dalam pers kita. Misalnya: income per capita, Meet the Press, steam-bath, midnight show, project officer, two China policy, floating mass, program-oriented, floor-price, City Hall, upgrading, the best photo of the year, reshuffle, approach, single, seeded dan apa lagi. Kata-kata itu sebenarnya bisa diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara diketahui bahwa tingkat pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, bisa diperhitungkan sebentar lagi pembaca koran Indonesia akan terasing dari informasi, mengingat timbulnya jarak bahasa yang kian melebar. Apalagi jika diingat rakyat kebanyakan memahami bahasa Inggris sepatah pun tidak. Sebelum terlambat, ikhtiar menterjemahkan kata-kata asing yang relatif mudah diterjemahkan harus segera dimulai. Tapi sementara itu diakui: perkembangan bahasa tak berdiri sendiri, melainkan ditopang perkembangan sektor kebudayaan lain. Maka sulitlah kita mencari terjemahan lunar module, feasibility study, after-shave lotion, drive-in, pant-suit, technical know-how, backhand drive, smash, slow motion, enterpeneur, boom, longplay, crash program, buffet dinner, double-breast, dll., karena pengertianpengertian itu tak berasal dari perbendaharaan kultural kita. Walau begitu, ikhtiar mencari salinan Indonesia yang tepat dan enak (misalnya bell-bottom dengan ''cutbrai'') tetap perlu. 1b. Menghindari sejauh mungkin akronim. Setiap bahasa mempunyai akronim, tapi agaknya sejak 15 tahun terakhir, pers berbahasa Indonesia bertambah-tambah gemar mempergunakan akronim, hingga sampai hal-hal yang kurang perlu. Akronim mempunyai manfaat: menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah diingat. Dalam bahasa Indonesia, yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang ratarata dituliskan dengan banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah. ''Hankam'', ''Bappenas'', ''Daswati'', ''Humas'' memang lebih ringkas dari ''Pertahanan & Keamanan'' ''Badan Perencanaan Pembangunan Nasional'', ''Daerah Swantantra Tingkat'' dan ''Hubungan Masyarakat''. Tapi kiranya akan teramat membingungkan kalau kita seenaknya saja membikin akronim sendiri dan terlalu sering. Di samping itu, perlu diingat: ada yang membuat akronim untuk alasan praktis dalam dinas (misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada yang membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya di kalangan remaja sehari-hari: ''ortu'' untuk ''orangtua''; atau di pojok koran: ''keruk nasi'' untuk ''kerukunan nasional'') tapi ada pula yang membuat akronim untuk menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik (misalnya ''Manikebu'' untuk ''Manifes Kebudayaan'', ''Nekolim'' untuk ''neo-kolonialisme''. ''Cinkom'' untuk ''Cina Komunis'', ''ASU'' untuk ''Ali Surachman''). Bahasa jurnalistik, dari sikap objektif, seharusnya menghindarkan akronim jenis terakhir itu. Juga akronim bahasa pojok sebaiknya dihindarkan dari bahasa pemberitaan, misalnya ''Djagung'' untuk ''Djaksa Agung'', ''Gepeng'' untuk ''Gerakan Penghematan'', ''sas-sus'' untuk ''desas-desus''. Saya tak bermaksud memberikan batas yang tegas akronim mana saja yang bisa dipakai dalam bahasa pemberitaan atau tulisan dan mana yang tidak. Saya hanya ingin mengingatkan: akronim akhirnya bisa mengaburkan pengertian kata-kata yang diakronimkan, hingga baik yang mempergunakan ataupun yang membaca dan yang mendengarnya bisa terlupa akan isi semula suatu akronim. Misalnya akronim ''Gepeng'' jika terus-menerus dipakai bisa menyebabkan kita lupa makna ''gerakan'' dan ''penghematan'' yang terkandung dalam maksud semula, begitu pula akronim ''ASU''. Kita makin lama makin alpa buat apa merenungkan kembali makna semula sebelum kata-kata itu diakronimkan. Sikap analitis dan kritis kita bisa hilang terhadap kata berbentuk akronim itu, dan itulah sebabnya akronim sering dihubungkan dengan bahasa pemerintahan totaliter dan sangat penting dalam bahasa Indonesia. Tapi seperti halnya dalam asas penghematan, asas kejelasan juga lebih efektif jika dilakukan dalam struktur kalimat. Satu-satunya untuk itu ialah dihindarkannya kalimatkalimat majemuk yang paling panjang anak kalimatnya; terlebih-lebih lagi, jika kalimat majemuk itu kemudian bercucu kalimat. Pada dasarnya setiap kalimat yang amat panjang, lebih dari 15-20 kata, bisa mengaburkan hal yang lebih pokok, apalagi dalam bahasa jurnalistik. Itulah sebabnya penulisan lead (awal) berita sebaiknya dibatasi hingga 13 kata. Bila lebih panjang dari itu, pembaca bisa kehilangan jejak persoalan. Apalagi bila dalam satu kalimat terlalu banyak data yang dijejalkan. Contoh: Harian Kami, 4 Desember 1971, halaman 1: ''Sehubungan dengan berita 'Harian Kami' tanggal 25 November 1971 hari Kamis berjudul: 'Tanah Kompleks IAIN Ciputat dijadikan Objek Manipulasi' (berdasarkan keterangan pers dari Hamdi Ajusa, Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Djakarta) maka pada tanggal 28 November jbl. di Kampus IAIN tersebut telah diadakan pertemuan antara pihak Staf JPMII (Jajasan Pembangunan Madrasah Islam & Ihsan - Perwakilan Ciputat) dengan Hamdi Ajusa mewakili DM IAIN dengan maksud untuk mengadakan 'clearing' terhadap berita itu.'' Perhatikan: Kalimat itu terdiri dari 60 kata lebih. Sebagai pembaca, saya memerlukan dua kali membacanya untuk memahami yang ingin dinyatakan sang wartawan. Pada pembacaan pertama, saya kehilangan jejak perkara yang disajikan di hadapan saya. Ini artinya suatu komunikasi cepat tak tercapai. Lebih ruwet lagi soalnya jika bukan saja pembaca yang kehilangan jejak dengan dipergunakannya kalimat-kalimat panjang, tapi juga si penulis sendiri. Pedoman, 4 Desember 1971, halaman IV: ''Selama tour tersebut sambutan masyarakat setempat di mana mereka mengadakan pertunjukan mendapat sambutan hangat.'' Perhatikan: Penulis kehilangan subjek semula kalimatnya sendiri, yakni sambutan masyarakat setempat. Akibatnya kalimat itu berarti, ''yang mendapat sambutan hangat ialah sambutan masyarakat setempat.'' Sinar Harapan, 22 November 1971, halaman VII: ''Di kampung-kampung kelihatan lebaran lebih bersemarak, ketupat beserta sayur dan sedikit daging semur, opor ayam ikut berlebaran. Dari rumah yang satu ke rumah yang lain, ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan di langgar-langgar, surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, daging semur, opor ayam disantap bersama oleh mereka.'' Perhatikan: Siapa yang dimaksud dengan kata ganti mereka dalam kalimat itu? Si penulis nampaknya lupa bahwa ia sebelumnya tak pernah menyebut ''orang-orang kampung''. Mengingat dekat sebelum itu ada kalimat ketupat-ketupat tersebut saling mengunjungi dan kalimat surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, kalimat panjang itu bisa berarti aneh dan lucu: ''daging semur, opor ayam disantap bersama oleh ketupatketupat. [monggo di praktekan]

journalism

Feature

Selain keterampilan memberikan laporan yang bersifat hardnews, seorang jurnalis sebaiknya memiliki kemampuan membuat feature. Jika dalam menyusun laporan yang sifatnya lugas, prinsip 5W 1H menonjol, maka dalam laporan bersifat feature kaidah itu tidak selalu pas.

Berita lebih menekankan kepada angle yang disesuaikan dengan kebijakan editorial, maka laporan yang bersifat feature lebih dalam lagi. Seorang wartawan yang menyusun sebuah feature biasanya memiliki pemahaman yang kuat terhadap kebijakan editorial sebuah surat kabar atau majalah atau media elektronik.

Berita kebakaran misalnya. Dengan mengandalkan prinsip 5W 1 H maka seorang jurnalis tinggal melihat mana angle yang tepat. Apakah dia akan mengangkat gedungnya yang terbakar karena museum? Atau apakah dia akan mengangkat soal korbannya karena dari satu rumah jompo semuanya meninggal dilalap api. Setiap jurnalis akan berbeda dalam mengangkat lead beritanya.

Feature berbeda dengan berita biasa. Di dalam penulisan feature faktor manusiawi lebih menonjol dibandingkan berita yang sifatnya lugas. Berita yang sudah terlambat tetapi layak diangkat lagi, misalnya tingkat pembunuhan di Jakarta, bisa menjadi feature menarik akhir pekan misalnya berdasarkan sedikit riset.

Untuk menulis feature ada beberapa hal penting.

1. Feature menekankan aspek penyajian yang menyentuh hati, bukan hanya informasi. Sebuah feature yang baik adalah laporan yang disusun berdasarkan konsep untuk memperkuat appeal terhadap pembaca. Nasib naas seorang pemulung yang meninggal ditabrak mobil mewah dimana ternyata dia meninggalkan keluarga dengan anak lima, misalnya, akan menyentuh pembaca untuk membantu keluarga yang ditinggalkannya. Sentuhan terhadap perasaan pembaca ini bisa dimulai dari kalimat pertama. Misalnya, canda dan tawa dua anak dari korban tabrakan itu seolah melupakan duka ayahnya yang tidak bisa ditemui lagi esok harinya. Sudut pandang penulis melihat nasib keluarganya ditambah data statisik mengenai jasa pemulung membersihkan kota Jakarta, contohnya, membuat feature itu akan menarik.

2. Sajikan fakta-fakta yang kuat. Anda tidak hanya harus membuat feature dengan menyentuh tetapi buatlah fakta dalam konteks yang kuat. Seorang pemulung yang meninggal dalam kecelakaan lalu lintas bisa diangkat sebagai masalah ketidakberdayaan kaum papa di jalan. Berapa korban tabrakan di Jakarta per bulan atau per tahun ? Feature akan memiliki nilai tinggi, meskipun dirangkum dalam dua kalimat. Atau bisa pula berapa pemulung di Jakarta menurut taksiran. Angka-angka akan memperkuat bobot feature.

3. Selain menempatkan kasus dalam konteks lebih luas, feature juga sebaiknya penuh dengan warna. Percakapan, cerita dan penuturan yang mengalir merupakan kunci penting menuangkan sebuah karya jurnalistik dalam bentuk feature. Dalam kasus pemulung yang meninggal tadi, jika penulisnya turun ke jalan berbincang dengan keluarga dan kerabat serta rekan-rekannya, maka percakapan itu akan berarti banyak dalam mengekspresikan kesedihan mereka. Si pemulung yang meninggal misalnya seorang yang jujur dan sopan. Dia tidak pernah ceroboh di jalan. Beberapa kalimat dari lokasi kejadian akan meningkatkan kualitas feature.

4. Selain membuka dengan kalimat yang menyedot pembaca masuk ke dalam, jalinlah ceritanya untuk tetap mendorong pembacanya mengikuti sampai akhir. Dengan menuliskan feature mengikuti kaidah cerita maka pembaca dihadapkan pada sebuah kisah kehidupan yang nyata tetapi berwarna di dalamnya. Pembuka yang kuat ditambah dengan tubuh feature yang berwarna disertai penutup yang mengguncangkan pembacanya akan memberikan daya tarik tersendiri feature Anda. Tidak perlu seorang jurnalist menuangkan dengan kata-kata yang superlatif, cukup menulis fakta, menyampaikan ekspresi keluarga dan kerabat korban dan diakhiri dengan beratnya perjuangan hidup pemulung di tengah bahaya lalu lintas, akan menjadikan feature tersebut layak dibaca tuntas.


By Editor