Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
Sejarah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah hanya merupakan kelangsungan desain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur-rasyidin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke II H.
Seorang Ulama’ besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah majlis ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Di antara murid beliau, bernama Washil bin Atha’. Ia adalah salah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa Arab.
Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukannya, apakah dia masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits karena Al-Imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadits.
Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’: 48;
اِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُاَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُمَادُوْنَ ذلِكَ ِلمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِافْتَرَى اِثْمًاعَظِيْمًا النساء
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang yang berbuat syirik, tetapi Allah mengampuni dosa selian itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mempersekutukan Tuhan ia telah membuat dosa yang sangat besar.”
Kedua, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ اَبِى ذَرٍ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتِانِى اتٍ مِنْ رَبىِ فَأَخْبَرَنِى اَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ اُمَّتِى لاَيُشْرِكُ بِاللهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ. قُلْتُ: وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ شَرَقَ. قَالَ وَاِنْ زَنىَ وَاِنْ سَرَقَ رواه البخارى ومسل
“Dari shahabat Abu Dzarrin berkata; Rasulullah SAW bersabda: Datang kepadaku pesuruh Allah menyampaikan kepadamu. Barang siapa yang mati dari umatku sedang ia tidak mempersekutukan Allah maka ia akan masuk surga, lalu saya (Abu Dzarrin) berkata; walaupun ia pernah berzina dan mencuri ? berkata (Rasul) : meskipun ia telah berzina dan mencuri.” (Diriwayatkan Bukhari dan Muslim).
فَيَقُوْلُ وَعِزَّتِى وَجَللاَ لِى وَكِبْرِيَانِى وَعَظَمَتِى لأَُخْرِجَنَّ مِنْهَا مَنْ قَالَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ. رواه البخارى
“Allah berfirman: Demi kegagahanku dan kebesaranku dan demi ketinggian serta keagunganku, benar akan aku keluarkan dari neraka orang yang mengucapkan; Tiada Tuhan selain Allah.”
Tetapi, jawaban gurunya tersebut, ditanggapi berbeda oleh muridnya, Washil bin Atha’. Menurut Washil, orang mu’min yang melakukan dosa besar itu sudah bukan mu’min lagi. Sebab menurut pandangannya, “bagaimana mungkin, seorang mu’min melakukan dosa besar? Jika melakukan dosa besar, berarti iman yang ada padanya itu iman dusta.”
Kemudian, dalam perkembangan berikutnya, sang murid tersebut dikucilkan oleh gurunya. Hingga ke pojok masjid dan dipisah dari jama’ahnya. Karena peristiwa demikian itu Washil disebut mu’tazilah, yakni orang yang diasingkan. Adapun beberapa teman yang bergabung bersama Washil bin Atha’, antara lain bernama Amr bin Ubaid.
Selanjutnya, mereka memproklamirkan kelompoknya dengan sebutan Mu’tazilah. Kelompok ini, ternyata dalam cara berfikirnya, juga dipengaruhi oleh ilmu dan falsafat Yunani. Sehingga, terkadang mereka terlalu berani menafsirkan Al-Qur’an sejalan dengan akalnya. Kelompok semacam ini, dalam sejarahnya terpecah menjadi golongan-golongan yang tidak terhitung karena tiap-tiap mereka mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bahkan, diantara mereka ada yang terlalu ekstrim, berani menolak Al-Qur’an dan Assunnah, bila bertentangan dengan pertimabangan akalnya.
Semenjak itulah maka para ulama’ yang mengutamakan dalil al-Qur’an dan Hadits namun tetap menghargai akal pikiran mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama. Kelompok ini kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah. Sebenarnya pola pemikiran model terakhir ini hanya merupakan kelangsungan dari sistem pemahaman agama yang telah berlaku semenjak Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
Ahlu Sunnah wa al-Jamaah Sebagai Manhaj al-Fikr atau Mazhab?
Berfikir jernih, luwes dan kreatif tanpa tedeng aling-aling adalah sebuah cita-cita luhur intelektual muda NU yang menyerap banyak literatur baru dalam hidupnya. Sebuah usaha yang mendapat kecaman hebat dari para kyai berkaitan dengan tradisi lama yang dibangun.
Konsep Ahlussunnah wal Jama’ah adalah satu dari banyak objek pemikiran yang ingin dilacak kebenarannya oleh intelektual muda tersebut. Benarkah pemahaman Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah kita saat ini? Adakah ia sebuah tradisi yang tak bisa diberantas (Aqidah) atau hanyalah sebuah pemikiran yang debatable?
Apapun ia, tentunya menjadi sebuah hal yang unik dan menarik untuk dibicarakan. Betapa tidak? Ketika para intelektual muda NU bergeliat mencari makna kebenaran Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang dikultuskan dan menjadi unthoughtable para kiai justru akhirnya merasa terancam eksistensinya. Ada apa dibalik semua ini? Said Aqil Siradj, seorang pemikir muda NU yang banyak menyoroti tentang hal ini dan akhirnya mendapatkan nasib yang sama dengan sesama intelektualis mendasarkan bahwa hapuslah asumsi awal yang menyatakan ini sebagai madzhab pokok.
Dalam beberapa runutan pemikiran berikutnya, ia banyak menjelaskan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah lahir dengan sebab bahwa ini adalah pondasi ideologi yang tak bisa ditawar-tawar. Pemahaman ini kemudian dikembalikan dengan watak asli Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang memberikan otoritas penuh kepada ulama untuk mempertahankan ilmu dan hak atas menafsirkan agama dari kesembronoan anak muda. Sebuah bangunan pengetahuan yang dibenturkan dengan prinsip berfikir yang tawassuth (Moderat), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan) yang menjadi pembuka wacana inteletualitas ditubuh NU.
Satu kesimpulan awal yang diambil dari pemaparan diatas adalah para ulama merasa jijik dengan pembaharuan yang berefek pada pengutak-atikan ideologi yang diajarkan sebagai pondasi awal di pesantren berbasis NU. Jika dilakukan hal demikian, hancurlah pondasi yang selama ini dibangun, selain pengkultusan yang juga akan hilang begitu saja, sebuah penghormatan tinggi kepada kiai.
Berkembangnya dugaan bahwa ini terjadi karena tradisi Islam yang ada juga masih menimbulkan pertanyaan, karena Islam bukan lahir di Indonesia tetapi tersebar sampai ke negara ini. Maka, kemudian yang terjadi adalah bahwa Islam mengelaborasikan diri terhadap tradisi bangsa ini dengan meng-Islam-kan beberapa diantaranya. Persinggungan inipun menjadi sebuah masalah, bukan hanya karena belum berhasilnya menghilangkan rasa ketradisian yang asli, tetapi juga pada sebuah pertanyaan apakah sebuah tradisi Islam yang ada adalah tradisi asli dari bangsa Arab? atau jangan-jangan sudah terakulturasi dengan budaya Gujarat?. Hal ini menjadi sebuah pemikiran serius tersendiri dalam mencapai sebuah kebenaran.
Lebih lanjut, konstruksi pemikiran yang ada sejatinya haruslah dihapuskan jika memang mau membahas konsep Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dengan lebih komprehensip. Kalau tidak, yang ada adalah stempelisasi. Pemurtadan terhadap ideologi yang ada, karena mengutak-atik yang dianggap tak akan bersalah dan tak dapat disalahkan. Pemahaman yang sejati tentang makna Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dan perdebatannya memang diakui haruslah dimulai dari sebuah asumsi bahwa ia adalah sebuah Manhaj al-Fikr (metode berpikir), bukan madzab yang berkarakteristik sebagaimana di atas.
MEMAHAMI ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR
Selama ini ahlussunah wal jamaah (ASWAJA) sering dianggap sebagai ideologi kaku dan mengklaim sebagai satu-satunya kelompok aliran keislaman yang berhak masuk surga. Konsepsi yang kaku tersebut sering memunculkan rivalitas dan gesekan pemikiran, bahkan konflik antar kelompok dalam islam. Konflik dan rivalitas itu berujung pangkal pada klaim kebenaran tersebut. Klaim ini tidak lepas dari pemahaman mereka tentang Aswaja sebagai sebuah madzhab, sehingga eksistensi Aswaja semakin mengkristal bahkan menjadi sebuah institusi yang baku dan establish. Melihat realitas ini Said Aqil Siraj mengatakan bahwa Aswaja akan menjadi paradoks ketika Aswaja hanya dipahami sebagai madzhab. Karena hal ini bertentangan dengan fakta sejarah kelahiran Aswaja itu sendiri. Aswaja adalah paham inklusif bagi seluruh umat islam.
Bukan milik organisasi atau institusi tertentu. Maka dari itu PMII bersama dengan tokoh progresif NU seperti Gus Dur, Said Aqiel Siraj, Ulil Absor Abdalla dll memahami Aswaja sebagai manhaj Al-fikr (metode berfikir).
ASWAJA APAAN TUH...? Ahlussunah wal jamaa’ah (ASWAJA) adalah terdiri dari tiga kata yaitu Ahlun, sunnah, dan jamaah. Kata ahlun dalam kamus Almunawir berarti famili, oleh Zabidi dan Said A.S diartikan sebagai pengikut aliran. Sedangkan kata Sunnah yang artinya perilaku dari kata sunah yang artinya jalan . Dalam pandangan ‘ulama’ hadits , sunnah adalah segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan maupun penetapan dan perjalanan Nabi baik sebelum diutus menjadi Rasul maupun sesudahnya (Hasbie AsSidiqie, 1964). Ulama’ ushul Fiqh mendefinisikan fiqh sebagai , “segala sesuatu yang berasal dari nabi SAW selain Al-Qur’an yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan syara’. Ulama’ fiqh dalam perspektif lain mendefinisikan sebagai “segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW dan tidak menjadi bagian dari masalah fardlu dan wajib dan dia adalah jalan yang diikuti dalam persoalan agama”. Berdasarkan lacakan bahasa, Said A.S. (1998) mendefinisikan As-Sunnah sebagai “segala sesuatu yang dirujukkan kepada perilaku atau jalan yang ditempuh oleh Nabi SAW beserta sahabat-sahabatnya”. Ada yang menggaris bawahi perilaku sahabat-sahabat Nabi dapat dijadikan sandaran jika tidak bertentangan dengan Sunnah Nabi, jadi sifatnya masih relatif.
Adapun pengertian Al-jama’ah secara etimologi berarti kelompok. Berasal dari kata jama’ah yang artinya perhimpunan (Al-Munawir 1984). Secara terminologi Al- Jama’ah menurut Imam Bukhari adalah Ahlul ‘ilmi (kaum intelektual). Imam Ath-Thabari mendefinisikan Al-Jama’ah adalah mayoritas golongan. Adapun menurut Imam Al Mubaraq menafsirkan Al jama’ah sebagai orang yang memiliki sifat-sifat keteladanan yang sempurna berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan menurut As-Satibi Al-Jama’ah adalah para sahabat Nabi SAW dan masih banyak pengertian yang lain (Badrun 2000). Menurut Harun Nasution term Ahlussunnah wal jamaah timbul sebagai reaksi terhadap faham-faham golongan mu’tazilah yang tidak begitu berpegang pada Sunnah atau tradisi karena meragukan keotentikan Sunnah. Selain itu Mu’tazilah bukan paham yang populer dikalangan rakyat biasa yang terbiasa dengan pemikiran yang sederhana. Karena persoalan itu muncullah term Ahlussunnah wal Jama’ah yang berarti golongan yang berpegang teguh pada Sunnah (tradisi) dan merupahan faham mayoritas ummat. Jika ditelusuri secara teoritis, definisi dari istilah Sunni atau Aswaja akan sulit didapatkan secara pasti dan konsensus. Hal ini salah satunya disebabkan karena adanya perbedaan dalam menggunakan istilah sunni secara akademik dan politik. Terlepas dari perbedaan tentang pengertian Sunnah tadi terdapat persamaan bahwa Sunnah kebiasaan Nabi baik berupa praktek ibadah maupun praktek kehidupan Rasulullah sebagai makhluk sosial yang butuh berinteraksi dengan alam, manusia dan Tuhannya.
Dalam perkembangan islam sunni dapat dipandang dalam dua perspektif yaitu Sunni sebagai pemikiran aliran dan Sunni sebagai sejarah politik. Pertama, Sunni sebagai pemikiran aliran yakni Sunni dalam dataran akademis tidak dibatasi oleh madzhab seperti pembatasan hanya ada dua imam dalam theologi (Asy’ariyah Dan Al-Maturidiyah), dua imam dalam bidang tasawuf (Al-Ghazali dan Junaidi), dan empat imam fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali).
Perumusan konsep Sunni seperti diatas hampir sama dengan konsep yang ditawarkan KH. Said Aqiel Siraj bahwa Asy’ari dan Maturidi hanya dua dari sekian banyak ‘ulama’ yang menggunakan metode jalan tengah dalam merespon dan menghukumi persoalan-persoalan sosial keagamaan. Karena dasar itu pula Said Aqiel Siraj tidak mau mengklaim Wasil bin Atha’ , hasan Basri dan Qadli abdul jabar bukan orng-orang Sunni. Kedua, sunni dalam sejarah politik yaitu kelahiran pemikiran Sunni tak lepas dari “gonjang-ganjing” setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Tentang perbedaan pendapat dari kalangan sahabatnya, siapa yang menjadi pemimpin ummat Islam setelah Nabi wafat . Adanya Pertemuan Tsaqifah yang bertujuan untuk mencari titik temu (konsensus) karena adanya friksi dikalangan ummat islam dalam mensikapi pergantian pemimpin ummat. Justru menjadi perjuangan politik dari berbagai aliran yang ada di Madinah untuk memunculkan nama kandidat mereka dalam kursi khalifah.
Kelompok-kelompk di Madinah yang terlibat dalam frisi politik antara lain, Pertama kelompok Muhajirin yaitu golongan yang berhijrah bersama Nabi dari Makkah ke Madinah. Muhajirin mengklaim dbahwa ia berhak memimpin ummat islam karena mereka adalah orang yang masuk islam terlebih dahulu. Kedua, adalah kelompok Anshar yaitu orang-orang Madinah yang menerima dan menollong Muhajirin dari tekanan politik serta ekonomi yang dilakukan kelompok kafir Quraisy. Ketiga, kelompok Ali bin Abi Thalib yang juga disebut kelompok syiah bani hasyim. Kelompok inin mencalonkan Ali sebagai kepala negara karena sebagai kelompok terakhir secara keturunan yang lebih berhak menggantikan posisi Nabi SAW.
Akhir dari pertemuan Tsaqifah menetapkan Abu Bakar sebagai khalifah dan ini tetap belum mampu mengeleminir friksi yang ada diantara umat islam, apalagi menyelesaikan masalah. Hal ini terlihat dengan terlambatnya (6 bulan) pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah karena Ali tidak bersedia membai’atnya. Dan Ali baru bersdia ketika setelah Fatimah wafat. Perbedaan pendapat tadi ternyata menimbulkan konflik politik yang berkepanjangan yang puncaknya setelah khalifah usman wafat, konflik fisik tak dapat dihindarkan. Selain disebabkan friksi yang berbeda terjadi juga dipicu kebijakan Usman dan kontroversi yang menyebabakan terbunuhmya Usman. Akibat friksi politik yang semakin kronis, kemudian menjadi konflik horizontal yang menimbulkan dua perang besar yaitu, pertama perang siffin , kelompok Ali berhadapan dengan kelompok Muawiyah. Kedua perang Jamal, dalam perang ini kelompok Ali bertemu dengan kelompok Aisyah, Zubair dan Thalhahdi medan perang. Akibat perang besar tersebut, kekalutan politik semakin kronis, faksi politik semakin banyak seiring dengan semakin banyaknnya perbedaan pandangan seputar konflik Ali dan Muawiyah. Kelompok lain yang muncul setelah kelompok Khawarij dan Syiah. Abdul Qadir Zailany dalam Jahmiyah Najriyah yang kemudian dikutip oleh Bulakia Syakir menyebutkan kelompok-kelompok yang lahir kemudian adalah Mu’tazilah, Murji’ah, Musyhibah, Jahmiyah, Najariyah, Darrariyah, Kilabiyah, dan Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Maka awal adanya perbedaan yang melatarbelakangi timbulnya aliran-aliran tersebut adalah disebabkan persoalan sosiai politik dari pada masalah pemahaman teks keagamaan.dalam perjalanan selanjutnya perbadaan tersebut semakin mengkristal dan berkembang ke semua aspek keagamaan. Setiap kelimpok mempunyai aliran pemikiran sendiri dalam persoalan teologis dan hukum. Diantara perbedaan pemikiran tadi ada beberapa kelompok yang memperlihatkan perbedaan yang sangat ekstrim. Kelompok mu’tazilah misalnya lebih bercorak rasionalistik, Jabariyah cenderung bercorak fatalistik. Kelompok lainnya, Qadariyah mempunyai pola pemikiran yang tingkat rasionalismenya sangat ekstrim. Di tengah sengitnya perselisihan antar golongan yang menjurus pada pertikaian politik dan pemahaman keagamaan tadi muncullah ide tabi’in yang berfikir moderat. Kelompok tersebut ini dimotori Abu Hasan bin Abi Hasan Al-Bahsyari. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN SUNNI Di dalam kekhalifahan Abbasyiyah (750-1258 M) , pemikiran Sunni memiliki perkembangan yang sangat pesat. Pada masa ini lahirlah pemikir-pemikir Sunni yang monumental diantaranya Abi Hanifah (W. 795 M), Malik bin Annas (W. 759 M), Asy-Syafi’i (W. 820 M), Ahmad bin Hanbal (W 855 M).
Pada masa itu Sunni tumbuh bersama dengan Mu’tazilah. Karena itu perkembangan Sunni secara langsung maupun tidak langsung tidak luput dari pengaruh rivalitas pemikiran antara Sunni dengan Syafi’i dan kelompok lainnya. Pesaing tersebut disikapi kelompok Sunni ddengan mengambil langkah-langkah penting diantara dengan mengembangkan dasar-dasar hukum islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah) hal ini dilakukan karena diluar mainstream kelompok tersebut ada kelompok lain yang mengembangkan aliran pemikiran yang bercorak rasionalistik dan penilaian yang subyektif. Langkah tersebut dilanjutkan dengan merumuskan konsep teoririk yang digali dari nilai-nilai tradisi untuk menggantikan tradisi hidup yang informal. Tujuannya selain untuk membatasi penggunaan rasio yang berlebihan juga untuk membatasi penggunaan hadis-hadis yang benar-benar autentik. Pembatasan untuk menggunakan hadis-hadis tersebut diiringi dengan upaya menginvestigasi untuk menyelidiki hadis-hadis mana yang lebih shahih dan layak untuk digunakan serta hadis mana yang masuk kategori mursal. Karena itu di masa ini lahir kompilasi-kompilasi hadis yang spektakuler seperti Al Jami’us Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari (W. 870), Al jami’us Shahih karya Imam Muslim (W. 1915 M), As-Sunnah karya An-nasa’i, As Sunan karya ibnu majah, As-sunan karya Abu Daud.
Sikap kelompok sunni yang mencoba merumuskan tradisi secara teoristis untuk memelihara tradisi untuk berkembang. Begitu kuatnya usaha tersebut sehinga dalam perkembangan selanjutnya terjadi pergeseran.sunni yang pada awalnya lebih diposisikan sebagai Manhaj Al Fikr berubah mejadi madzhab. Karena itulah kelompok tersebut disebut sebagai kelompok yang dalam memutuskan persoalan Fikih lebih mengutamakan pada penggunaan metodologi dan keunggulan epistemologi tradisi dari pada penggunaan nalar.
GENEOLOGI PEMIKIRAN SUNNI Pemikiran sunni tidak bisa lepas dari pengaruh sejarah yang setidaknya mengandung tiga dimensi.pertama,pergolakan politik yang terjadi paska pertemuan di Darut Tsaqifah bani saidah yang memecah umat islam dan memunculkan konflik yang berkepanjangan. Kemudian menyebabkan teoritisasi pemikiran sunni yang cenderung menggutamakan keharmonisan stabilitas sebagai sebuah preferensi yang tidak dapat di tawar-tawar lagi.hal ini telihat dari banyaknya kaidah-kaidah fikih yang menjadi komponen banguan, fikih sunni lebih mengutamakan untuk menghindari sebuah kerusakan daripada untuk mencapai sebuah kemahslahatan,seperti kaidah Dar’u Al mafasid muqoddamun ala jalbi Al Mashalikh. Keberpihakan pada penguasa terlihat jelas akibat kehati-hatian tadi seperti yang tercermin dari pendapatnya Al Mawardi dalam Ahkam Suthaniah yang mengatakan bahwa mendirikan dan menguatkan suatu negara adalah suatu kewajiban yang didasari oleh Wahyu bukan semata-mata di dasari oleh rasio. Kedua, kuatnya pergulatan intelektual dan perebutan hegemoni pemikiran yang berasal dari perbedaan teologi. Pergulatan intelektual tersebut juga di iringi klaim kebenaran dari setiap kelompok aliran karena adanya perbedaan yang mendasar. Bahkan ada diantara kelompok yang mempunyai perbedaan ekstrim. Misalnya antara paham jabariah yang fatalistis dengan Qodariah yang rasionalisasinya sangat tinggi. Jika dikaitkan dengan kondisi tersebut, maka tumbuhlah pemikiran Sunni sebenarnya lebih terlihat sebagai jalan tengah. Ketiga, ada pengaruh pemikiran yunani. Masuknya pemikiran Yunani terjadi secara signifikan di masa Abbasiyah. Persamaan tersebut diantaranya adalah pandangan tentang substansi adanya negara atau pemerintahan. Menurut Aristoteles, sebuah pemerintahan pada dasarnya bukan untuk memenuhi tujuan dari negara itu sendiri tetapi untuk manusia yang menjadi warganya secara keseluruhan. Tujuan manusia yang tertinggi menurut Aristoteles adalah kebijakan tertinggi (The hightess Good), yaitu kualitas moral manusia. Sementara itu hampir sama dengan Aristoteles, Ibnu Majah mengatakan bahwa fungsi utama negara adalah untuk membimbing rakyatnya untuk mencapai tujuan hidup.
Maka Sunni memperlihatkan sebagai aliran pemikiran yang mau melakukan proses adaptasi dengan pemikiran lain sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. VISI KERAKYATAN SUNNI . Konsep Maslahat pemikiran Sunni yang pada awalnya adalah respon terhadap kondisi umat islam yang chaos memang cenderung konservatif, dekat dengan penguasa dan terkesan tidak memberikan ruang yang lebih luas kepada rakyat untuk menyalurkan kepentingannya. Pemikiran Sunni seperti Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali dan Al- Mawardi cenderung memberikan celah bagi terbentuknya kekuasaan yang otoriter. Ada beberapa pemikiran dasar Sunni yang sebenarnya menjadi embrio politik ekonomi yang memihak pada kepentingan rakyat diantaranya adalah konsep amanah, adil dan maslahat. Pertama, konsep maslahat. Bagi pemikir Sunni salah satu tujuan sebuah kekuasaan menurut pemikir Sunni adalah untuk mensejahterakan rakyat. Dalam hal ini ada sebuah kaidah yang mengatakan tasharruful imam ‘ala al-ra’iyah manuthun bil maslahah (semua kebijakan pemimpin harus didasari pertimbangan kemaslahatan umat). Kaitannya dengan upaya membangun Visi kerakyatan fiqih, konsep maslahat setidaknya memberikan tiga kontribusi :
Pertama, menjaga keberpihakan pada kepentingan umum. Kedua, mengontrol kelompok yang mempunyai otoritas politik, ekonomi maupun intelektual dalam membuat kebijakan publik agar tidak didominasi oleh kepentingan individu atau golongan. Ketiga, menyelaraskan kepentingan syari’at dengan kepentingan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kebutuhan dunia. Konsep amanah Terkait dengan konsep amanah ada dua pemikiran Sunni yang pemikirannya telah populer pada saat ini, Imam Ghazali, Ibnu Timiyah dan al- Mawardi. Mereka sepakat bahwa terbentuknya sebuah negara selain untuk menjamin terpeliharanya syariat dalam kehidupan manusia juga untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dunia manusia.
Pendapat kedua pemikiran tadi memang tidak seekstrim teori kontrak sosial dalam kamus politik konvensional meskipun demikian konsep amanah yang ditawarkan Ibnu Taimiyah dan Al-Ghazali tadi merupakan modal untuk membangun konstruksi fiqih dengan visi kerakyatan yang kuat. PERKEMBANGAN KONSEP ASWAJA DALAM PMII.
Dalam alur besar pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah ada dua pemahaman yang selama ini sering diperdebatkan. Yang pertama Aswaja dipahami sebagai sebuah madzhab yang sudah baku dan transeden. Misalnya dalam fiqh disandarkan pada empt imam yaitu imam Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki, dua imam teologi Maturidi dan Imam Asy’ari dan dua imam tasawuf yaitu Imam Al- Junaidi dan Imam Ghazali. Konsep yang kedua memandang Aswaja sebagai metodologi berfikir (manhaj). Konsep Aswaja sebgai manhaj fikr lebih adaptif, eklektik dan mengakui pemikiran yang filosofis dan sosiologis. Pemahaman Aswaja tersebut dipopulerkan para kiai muda seperti Abdurrahman Wahid, Said Aqil Siraj dan tokoh-tokoh muda lainnya.
Dalam sejarah PMII, kata independen bisa disebut kata suci. Bagi organisasi kemahasiswaan ini, perdebatan tentang independensi organisasi mempunyai sejarah paling panjang dan tidak habis-habisnya melahirkan kontroversi. Karena persoalan independensi itulah, melalui Mubes di Murnajati (Jatim) 14 juli 1972 PMII menyatakan diri putus hubungan dengan NU (organisasi yang pada awalnya menjadi induk PMII) secara struktural (baca deklarasi Murnajati). Meskipun demikian dilihat dari pola pikirnya dan landasan teologinya, ada kesamaan antara PMII dan NU, keduanya mencoba menjadi pengawal gerbang ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Hanya PMII lebih mencoba mengembangkan Aswaja sebagai Ideologi eklektik dan adaptif demi terwujudnya islam rahmatan lil ‘alamin.
Sebagian besar anak muda PMII yang lahir dari kalangan pesantren meskipun terkesan liberal dalam berfikir tetapi dalam berfikir masih memegang hirarki yudisial dalam sistem bermadzhab begitu mapan. Meskipun demikian penggunaan metodologi keilmuan seperti filsafat, sosiologi, linguistik, tidak bisa dipungkiri sangat dibutuhkan untuk menterjemahkan sumber hukum tersebut dalam konteks kekinian. Dengan pola pikir seperti itu, tokoh seperti KH. Said Aqiel, Gus Dur dan juga Ulil Abshar sering menjadi referensi bagi anak-anak PMII. Dalam perkembangan pemikiran selanjutnya, dalam konteks sosial keagamaan ASWAJA diterjemahkan sebagai manhaj yang mengakui proses dialektika sejarah pemikiran dan pergerakan. Konsepsi ASWAJA yang mengakui pemikiran yang filosofi yang sosiologos tersebut. Hal ini tentunya tidak lepas dari hasil perjuanagan para kiai muda seperti Said Aqiel Siraj. Ia menawarkan definisi baru mengenai Aswaja sebagai manhaj. Secara sempurna definisi ASWAJA menurutnya adalah; “ Manhaj Al-fikr Al-Diny al Syiml ‘Ala Syu’un Al Hayat wa Mu’tadlayatiha Al Khaim Ala Asas Al Tawasuh Wal Tawazzun Wal Al i’tidal Wa Al Tasamuh (metode berfikir keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri di atas prinsip keseimbangan, balancing, jalan tengah dan netral dalam aqidah penengah dalam permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan serta keadilan dan toleransi dalam politik).
Dari paparan diatas sekiranya dapat diambil benang merah bahwa, PMII lebih condong untuk memakai ASWAJA sebagai Manhaj Al-Fikr dari pada sebagai madzhab.
Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII
Berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia berusaha menggali sumber nilai dan potensi insan warga pergerakan untuk dimodifikasi di dalam tatanan nilai baku yang kemudian menjadi citra diri yang diberi nama Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII. Hali ini dibutuhkan di dalam memberikan kerangka, arti dan motivasi dan wawasan pergerakan dan sekaligus memberikan dasar pembenar terhadap apa saja yang akan dan mesti dilakukan untuk mencapai cita-cita perjuangan sesuai dengan maksud didirikannya organisasi ini.
Insaf dan sadar bahwa semua itu adalah kejarusan bagi setiap fungsionaris maupun anggota PMII untuk memahami dan menginternalisasikan nilai dasar PMII itu, baik secara orang perorang maupun bersama-sama.
BAB I
ARTI, FUNGSI, DAN KEDUDUKAN
Arti :
Secara esensial Nilai Dasar Pergerakan ini adalah suatu sublimasi nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dengan kerangka pemahaman keagamaan Ahlussunnah wal jama’ah yang menjiwai berbagai aturan, memberi arah dan mendorong serta penggerak kegiatan-kegiatan PMII. Sebagai pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, Islam mendasari dan menginspirasi Nilai Dasar Pergerakan ini meliputi cakupan aqidah, syari’ah dan akhlak dalam upaya kita memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Dalam upaya memahami, menghayati dan mengamalkan Islam tersebut, PMII menjadikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai pemahaman keagamaan yang paling benar.
Fungsi :
Landasan berpijak:
Bahwa NDP menjadi landasan setiap gerak langkah dan kebijakan yang harus dilakukan.
Landasan berpikir :
Bahwa NDP menjadi landasan pendapat yang dikemukakan terhadappersoalan-persoalan yang dihadapi.
Sumber motivasi :
Bahwa NDP menjadi pendorong kepada anggota untuk berbuat dan bergerak sesuai dengan nilai yang terkandung di dalamnya.
Kedudukan :
Rumusan nilai-nilai yang seharusnya dimuat dan menjadi aspek ideal dalam berbagai aturan dan kegiatan PMII.
Landasan dan dasar pembenar dalam berpikir, bersikap, dan berprilaku.
BAB II
RUMUSAN NILAI DASAR PERGERAKAN
1. TAUHID
Meng-Esakan Allah SWT, merupakan nilai paling asasi yang dalam sejarah agama samawi telah terkandung sejak awal keberadaan manusia.
Allah adalah Esa dalam segala totalitas, dzat, sifat-sifat, dan perbutan-perbuatan-Nya. Allah adalah dzat yang fungsional. Allah menciptakan, memberi petunjuk, memerintah, dan memelihara alam semesta ini. Allah juga menanamkan pengetahuan, membimbing dan menolong manusia. Allah Maha Mengetahui, Maha Menolong, Maha Bijaksana, Hakim, Maha Adil, dan Maha Tunggal. Allah Maha Mendahului dan Maha Menerima segala bentuk pujaan dan penghambaan.
Keyakina seperti itu merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang lebih tinggi dari pada alam semesta, serta merupakan kesadaran dan keyakinan kepada yang ghaib. Oleh karena itu, tauhid merupakan titik puncak, melandasi, memadu, dan menjadi sasaran keimanan yang mencakup keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan, dan perwujudan dalam perbuatan. Maka konsekuensinya Pergerakan harus mampu melarutkan nilai-nilai Tauhid dalam berbagai kehidupan serta terkomunikasikan dan mermbah ke sekelilingnya. Dalam memahami dan mewujudkan itu, Pergerakan telah memiliki Ahlussunnah wal jama'ah sebagai metode pemahaman dan penghayatan keyakinan itu.
2. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH
Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baik kejadian dan menganugerahkan kedudukan terhormat kepada manusia di hadapan ciptaan-Nya yang lain. Kedudukan seperti itu ditandai dengan pemberian daya fikir, kemampuan berkreasi dan kesadaran moral. Potensi itulah yang memungkinkan manusia memerankan fungsi sebagai khalifah dan hamba Allah. Dalam kehidupan sebagai khalifah, manusia memberanikan diri untuk mengemban amanat berat yang oleh Allah ditawarkan kepada makhluk-Nya. Sebagai hamba Allah, manusia harus melaksanakan ketentuan-ketentauan-Nya. Untuk itu, manusia dilengkapi dengan kesadaran moral yang selalu harus dirawat, jika manusia tidak ingin terjatuh ke dalam kedudukan yang rendah. Dengan demikian, dalam kehidupan manusia sebagai ciptaan Allah, terdapat dua pola hubungan manusia dengan Allah, yaitu pola yang didasarkan pada kedudukan manusia sebagai khalifah Allah dan sebagai hamba Allah. Kedua pola ini dijalani secara seimbang, lurus dan teguh, dengan tidak menjalani yang satu sambil mengabaikan yang lain. Sebab memilih salah satu pola saja akan membawa manusia kepada kedudukan dan fungsi kemanusiaan yang tidak sempurna. Sebagai akibatnya manusia tidak akan dapat mengejawentahkan prinsip tauhid secara maksimal. Pola hubungan dengan Allah juga harus dijalani dengan ikhlas, artinya pola ini dijalani dengan mengharapkan keridloan Allah. Sehingga pusat perhatian dalam menjalani dua pola ini adalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Sedangkan hasil optimal sepenuhnya kehendak Allah. Dengan demikian, berarti diberikan penekanan menjadi insan yang mengembangkan dua pola hubungan dengan Allah. Dengan menyadari arti niat dan ikhtiar, sehingga muncul manusia-manusia yang berkesadaran tinggi, kreatif dan dinamik dalam berhubungan dengan Allah, namun tetap taqwa dan tidak pongah Kepada Allah. Dengan karunia akal, manusia berfikir, merenungkan dan berfikir tentang ke-Maha-anNya, yakni ke-Mahaan yang tidak tertandingi oleh siapapun. Akan tetapi manusia yang dilengkapi dengan potensi-potensi positif memungkinkan dirinyas untuk menirukan fungsi ke-Maha-anNya itu, sebab dalam diri manusia terdapat fitrah uluhiyah - fitrah suci yang selalu memproyeksikan terntang kebaikan dan keindahan, sehingga tidak mustahil ketika manusia melakukan sujud dan dzikir kepadaNya, Manusia berarti tengah menjalankan fungsi Al Quddus. Ketika manusia berbelas kasih dan berbuat baik kepada tetangga dan sesamanya, maka ia telah memerankan fungsi Arrahman dan Arrahim. Ketikamanusia bekerja dengan kesungguhan dan ketabahan untuk mendapatkan rizki, maka manusia telah menjalankan fungsi Al Ghoniyyu. Demikian pula dengan peran ke-Maha- an Allah yang lain, Assalam, Al Mukmin, dan lain sebagainya. Atau pendek kata, manusia dengan anugrah akal dan seperangkat potensi yang dimilikinya yang dikerjakan dengan niatyang sungguh-sungguh, akan memungkinkan manusia menggapai dan memerankan fungsi-fungsi Asma'ul Husna. Di dalam melakukan pekerjaannya itu, manusia diberi kemerdekaan untuk memilih dan menentukan dengan cara yang paling disukai. 14) Dari semua pola tingkah lakunya manusia akan mendapatkan balasan yang setimpal dan sesuai yang diupayakan, karenanya manusia dituntut untuk selalu memfungsikan secara maksimal ke4merdekaan yang dimilikinya, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama dalam konteks kehidupan di tengah-tengah alam dan kerumunan masyarakat, sebab perubahan dan perkembangan hanyalah milikNya, oleh dan dari manusia itu sendiri.15) Sekalipun di dalam diri manusia dikaruniai kemerdekaan sebagai esensi kemanusiaan untuk menentukan dirinya, namun kemerdekaan itu selalu dipagari oleh keterbatasan-keterbatasan, sebab prerputaran itu semata-mata tetap dikendalaikan oleh kepastian-kepastian yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana,yang semua alam ciptaanNya iniselalu tunduk pada sunnahNya, pada keharusan universal atau takdir. 16 ) Jadi manusia bebas berbuat dan berusaha ( ikhtiar ) untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah dia menjadi mukmin atau kafir, pandai atau bodoh, kaya atau miskin, manusia harus berlomba-lomba mencari kebaikan, tidak terlalu cepat puas dengan hasil karyanya. Tetapi harus sadar pula dengan keterbatasan- keterbatasannya, karaena semua itu terjadi sesuai sunnatullah, hukum alam dan sebab akibat yang selamanya tidak berubah, maka segala upaya harus diserrtai dengan tawakkal. Dari sini dapat dipahami bahwa manusia dalam hidup dan kehidupannya harus selalu dinamis, penuh dengan gerak dan semangat untuk berprestasi secara tidak fatalistis. Dan apabila usaha itu belum berhasil, maka harus ditanggapi dengan lapang dada, qona'ah (menerima) karena disitulah sunnatullah berlaku. Karenanya setiap usaha yang dilakukan harus disertai dengan sikap tawakkal kepadaNya. 17 )
3. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN MANUSIA
Kenyataan bahwa Allah meniupkan ruhNya kepada materi dasar manusia menunjukan , bahwa manusia berkedudukaan mulia diantara ciptaan-ciptaan Allah. Memahami ketinggian eksistensi dan potensi yang dimiliki manusia, anak manusia mempunyai kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai warga dunia manusia adalah satu dan sebagai warga negara manusia adalah sebangsa , sebagai mukmin manusia adalah bersaudara. 18)
Tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lainnya , kecuali karena ketakwaannya. Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan, ada yang menonjol pada diri seseorang tentang potensi kebaikannya , tetapi ada pula yang terlalu menonjol potensi kelemahannya, agar antara satu dengan yang lainnya saling mengenal, selalu memadu kelebihan masing-masing untuk saling kait mengkait atau setidaknya manusia harus berlomba dalam mencaridanmencapai kebaikan, oleh karena itu manusia dituntut untuk saling menghormati, bekerjasama, totlong menolong, menasehati, dan saling mengajak kepada kebenaran demi kebaikan bersama. Manusia telah dan harus selalu mengembangkan tanggapannya terhadap kehidupan. Tanggapan tersebut pada umumnya merupakan usaha mengembangkan kehidupan berupa hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Dengan demikian maka hasil itu merupakan budaya manusia, yang sebagian dilestarikan sebagai tradisi, dan sebagian diubah. Pelestarian dan perubahan selalu mewarnai kehidupan manusia. Inipun dilakukan dengan selalu memuat nilai-nilai yang telah disebut di bagian awal, sehingga budaya yang bersesuaian bahkan yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai tersebut dilestarikan, sedang budaya yang tidak bersesuaian diperbaharui.
Kerangka bersikap tersebut mengisyaratkan bergerak secara dinamik dan kreatif dalam kehidupan manusia. Manusia dituntut untuk memanfaatkan potensinya yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT. Melalui pemanfaatan potensi diri itu justru manusia menyadari asal mulanya, kejadian, dan makna kehadirannya di dunia. Dengan demikian pengembangan berbagai aspek budaya dan tradisi dalam kehidupan manusia dilaksanakan sesuai dengan nilai dalam hubungan dengan Allah, manusia dan alam selaras dengan perekembangan kehidupandan mengingat perkembangan suasana. Memang manusia harus berusaha menegakan iman, taqwa dan amal shaleh guna mewujudkan kehidupan yang baik dan penuh rahmat di dunia. Di dalam kehidupan itu sesama manusia saling menghormati harkat dan martabat masing-masing , berderajat, berlaku adil dan mengusahakan kebahagiaan bersama. Untuk diperlukan kerjasama yang harus didahului dengan sikap keterbukaan, komunikasi dan dialog antar sesama. Semua usaha dan perjuangan ini harus terus -menerus dilakukan sepanjang sejarah. Melalui pandangan seperti ini pula kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara dikembangkan. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan kerelaan dan kesepakatan untuk bekerja sama serta berdampingan setara dan saling pengertian. Bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita bersama : hidup dalam kemajuan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Tolok ukur bernegara adalah keadilan, persamaan hukum dan perintah serta adanya permusyawaratan. Sedangkan hubungan antara muslim ddan non muslim dilakukan guna membina kehidupan manusia dengan tanpa mengorbankan keyakinan terhadap universalitas dan kebenaran Islam sebagai ajaran kehidupan paripurna. Dengan tetap berpegang pada keyakinan ini, dibina hubungan dan kerja sama secara damai dalam mencapai cita-cita kehidupan bersama ummat manusia.Nilai -nilai yang dikembangkan dalam hubungan antar manusia tercakup dalam persaudsaraan antar insan pergerakan , persaudaraan sesama Islam , persaudaraan sesama warga bangsa dan persaudaraan sesama ummat manusia . Perilaku persaudaraan ini , harusd menempatkan insan pergerakan pada posisi yang dapatv memberikan kemanfaatan maksimal untuk diri dan lingkungan persaudaraan.
4. HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM
Alam semesta adalah ciptaan Allah SWT. 19) Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya.20) Alam juga menunjukan tanda-tanda keberadaan, sifat dan perbuatan Allah. 21) Berarti juga nilai taiuhid melingkupi nilai hubungan manusia dengan alam. Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah menundukan alam bagi manusia , 22) dan bukan sebaliknya . Jika sebaliknya yang terjadi, maka manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam , bukan penghambaan terhadap Allah. Karena itu sesungguhnya berkedudukan sebagai khalifah di bumi untuk menjadikan bumi maupun alam sebagai obyek dan wahana dalam bertauhid dan menegaskan dirinya.23) Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan kepada kebaikan di akhirat, 24) di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mentransendensikan segala aspek kehidupan manusia. 25) Sebab akhirat adalah masa masa depan eskatologis yang tak terelakan . 26) Kehidupan akhirat akan dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar fungsional dan beramal shaleh. 27)
Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan . Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam , memakmurkan bumi dan menyelenggarakan kehidupan pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara tersebut dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan ,nafkah dan masa depan. Maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran bersama. Hidup bersama antar manusia berarti hidup dalam kerja sama , tolong menolong dan tenggang rasa. Salah satu hasil penting dari cipta, rasa, dan karsa manusia yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Manusia menciptakan itu untuk memudahkan dalam rangka memanfaatkan alam dan kemakmuran bumi atau memudahkan hubungan antar manusia . Dalam memanfaatkan alam diperlukan iptek, karena alam memiliki ukuran, aturan, dan hukum tertentu; karena alam ciptaan Allah buykanlah sepenuhnya siap pakai, melainkan memerlukan pemahaman terhadap alam dan ikhtiar untuk mendayagunakannya.
Namun pada dasarnya ilmu pengetahuan bersumber dari Allah. Penguasaan dan pengembangannyadisandarkan pada pemahaman terhadap ayat-ayat Allah. Ayat-ayat tersebut berupa wahyu dan seluruh ciptaanNya. Untuk memahami dan mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah itulah manusia mengerahkan kesadaran moral, potensi kreatif berupa akal dan aktifitas intelektualnya. Di sini lalu diperlukan penalaran yang tinggi dan ijtihad yang utuh dan sistimatis terhadap ayat-ayat Allah, mengembangkan pemahaman tersebut menjadi iptek, menciptakan kebaruan iptek dalam koteks ke,manusiaan, maupun menentukan simpul-simpul penyelesaian terhadap masalah-masalah yang ditimbulkannya. Iptek meruipakan perwujudan fisik dari ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia, terutama digunakan untuk memudahkan kehidupan praktis.
Penciptaan, pengembangan dan penguasaan atas iptek merupakan keniscayaan yang sulit dihindari. Jika manusia menginginkan kemudahan hidup, untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama bukan sebaliknya. Usaha untuk memanfaatkan iptek tersebut menuntut pengembangan semangat kebenaran, keadilan , kmanusiaan dan kedamaian. Semua hal tersebut dilaksanakan sepanjang hayat, seiring perjalanan hidup manusia dan keluasan iptek. Sehingga, berbarengan dengan keteguhan iman-tauhid, manusia dapat menempatkan diri pada derajat yang tinggi.
BAB III
PENUTUP
Itulah Nilai Dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang dipergunakan sebagai landasan teologis normatif, etis dan motivatif dalam pola pikir, pola sikap dan pola perilaku warga PMII, baik secara perorangan maupun bersama-sama dan kelembagaan. Rumusan tersebut harus selalu dikaji dan dipahami secara mendalam, dihayati secara utuh dan terpadu, dipegang secara teguh dan dilaksanakan secara bijaksana.
Dengan Nilai Dasar Pergerakan tersebut dituju pribadi muslim yang berbudi luhur , berilmu, bertaqwa, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya, yaitu sosok ulul albab Indonesia yang sadar akan kedudukan dan peranannya sebagai khalifah Allah di bumi dalam jaman yang selalu berubah dan berkembang , beradab, manusiwi, adil penuh rahmat dan berketuhanan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar