
MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH:
SEBUAH RINGKASAN1
Dengan timbulnya bermacam-macam aliran / madzhab dalam Islam sehingga banyak membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat, tentu kita sebagai umat Islam harus punya pilihan yang tepat dan benar. Terkait dengan ini, Nahdhatul Ulama (NU) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam menjalankan ajaran agama Islam memilih mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pilihan NU dan PMII sangat argumentatif karena berdasarkan pada Hadits Nabi (lihat sabda Nabi riwayat Ibnu Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Berikut ini, penulis akan mencoba untuk mengurai secara singkat tentang Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam perspektif NU dan PMII
A. Pengertian
Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun, kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.
Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS. Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)
As-sunnah secara etimologi adalah At-thariqah, yaitu jalan / sistem / cara / tradisi. Sedangkan menurut terminologi ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW.
Al-Jama’ah secara etimologi berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya. Sedangkan menurut terminologi ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam.
Dengan demikian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid maupun fiqih dengan mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal.
Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan Shahabat-shahabat beliau.
B. Sejarah dikenalnya Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrosydin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke-II H. Sejarahnya sebagai berikut:
Seorang ulama besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah Majelis Ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, Washil bin ‘Atha adalah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dengan murid “ tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar”. Apakah ia masih tetap mu’min atau tidak ?
Menurut Al-Imam Hasan Al-Bashry, dia tetap mu’min selama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist karena imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist. Tetapi menurut muridnya Washil bin ‘Atha orang mu’min yang melakukan dosa besar sudah bukan mu’min lagi, dia berpegang pada akalnya. Bagaimana seorang mu’min melakukan dosa besar ?, berarti iman yang ada padanya adalah iman dusta. Semenjak itulah maka para ulama yang mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist daripada dalil akal mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama, kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
C. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid
Di dalam mempelajari ilmu tauhid madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan dalil-dalil Aqli ( rasio ) dan Naqli ( Qur’an dan Hadist ). Namun dalam operasionalisasinya, madzhab ini mendahulukan dalil naqli daripada dalil aqli. Akal manusia diibaratkan mata, kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata (akal manusia) mengikuti pelita (dalil Qur’an dan Hadist) bukan Qur’an dan Hadist yang disesuaikan dengan akal manusia.
D. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih
Di dalam menentukan hukum fiqih madzhab Aswaja bersumber pada 3 pokok, yaitu:
Al-Qur’an
As-Sunnah
Ijtihad (Ijma’ dan Qiyas)
E. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Tauhid
Imam Abul Hasan Al-Asy’ari ( 260-324 )
Imam Abul Mansur Al-Maturidi ( Wafat 333 H )
I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:
Tentang Ketuhanan
Tentang Malaikat-malaikat Allah
Tentang Kitab-kitab Allah
Tentang Rasul-rasul Allah
Tentang Hari Akhir
Tentang Qadha dan Qadar
F. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Fiqih
Imam Hanafi ( 80-150 H )
Imam Maliki ( 93-179 H )
Imam Syafi’i ( 150-204 H )
Imam Hambali ( 164-248 H)
G. Metode Aswaja dalam memutuskan masalah
Di dalam memutuskan sesuatu masalah, tentu kita dapat memutuskan dengan cepat. Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut tetapi kita harus meneliti dalam menentukan hukum. Pertama : kita melihat perbuatan tersebut ada perintahnya dalam al-quran dan as-Sunnah ?, Kedua : Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut, tidak ada baik dalam al-quran maupun as-Sunnah kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut ?, ketiga : kalau perintah dan larangan terhadap perbuatan tersebut tidak ada dalam al-quran dan as-Sunnah, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama ?, keempat : kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada mudaratnya ( bahayanya ) terhadap agama ?, setelah tahapan – tahapan tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum :
Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari wajib atau sunnah
Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas dari haram atau makruh
Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )
Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram
Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq
Keterangan:
1. Makalah ini disampaikan pada acara MAPABA PMII Komisariat Perguruang Tinggi Setia Budhi Rangkasbitung yang diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober 2009 di Auditorium YPI Al Wadah Jawilan Serang
2. Penulis adalah Sekretaris Majelis Pembina Cabang PMII Kabupaten Lebak
MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH:
SEBUAH RINGKASAN1
Dengan timbulnya bermacam-macam aliran / madzhab dalam Islam sehingga banyak membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat, tentu kita sebagai umat Islam harus punya pilihan yang tepat dan benar. Terkait dengan ini, Nahdhatul Ulama (NU) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam menjalankan ajaran agama Islam memilih mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pilihan NU dan PMII sangat argumentatif karena berdasarkan pada Hadits Nabi (lihat sabda Nabi riwayat Ibnu Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Berikut ini, penulis akan mencoba untuk mengurai secara singkat tentang Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam perspektif NU dan PMII
A. Pengertian
Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun, kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.
Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS. Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)
As-sunnah secara etimologi adalah At-thariqah, yaitu jalan / sistem / cara / tradisi. Sedangkan menurut terminologi ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW.
Al-Jama’ah secara etimologi berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya. Sedangkan menurut terminologi ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam.
Dengan demikian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid maupun fiqih dengan mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal.
Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan Shahabat-shahabat beliau.
B. Sejarah dikenalnya Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrosydin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke-II H. Sejarahnya sebagai berikut:
Seorang ulama besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah Majelis Ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, Washil bin ‘Atha adalah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dengan murid “ tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar”. Apakah ia masih tetap mu’min atau tidak ?
Menurut Al-Imam Hasan Al-Bashry, dia tetap mu’min selama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist karena imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist. Tetapi menurut muridnya Washil bin ‘Atha orang mu’min yang melakukan dosa besar sudah bukan mu’min lagi, dia berpegang pada akalnya. Bagaimana seorang mu’min melakukan dosa besar ?, berarti iman yang ada padanya adalah iman dusta. Semenjak itulah maka para ulama yang mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist daripada dalil akal mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama, kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
C. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid
Di dalam mempelajari ilmu tauhid madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan dalil-dalil Aqli ( rasio ) dan Naqli ( Qur’an dan Hadist ). Namun dalam operasionalisasinya, madzhab ini mendahulukan dalil naqli daripada dalil aqli. Akal manusia diibaratkan mata, kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata (akal manusia) mengikuti pelita (dalil Qur’an dan Hadist) bukan Qur’an dan Hadist yang disesuaikan dengan akal manusia.
D. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih
Di dalam menentukan hukum fiqih madzhab Aswaja bersumber pada 3 pokok, yaitu:
Al-Qur’an
As-Sunnah
Ijtihad (Ijma’ dan Qiyas)
E. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Tauhid
Imam Abul Hasan Al-Asy’ari ( 260-324 )
Imam Abul Mansur Al-Maturidi ( Wafat 333 H )
I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:
Tentang Ketuhanan
Tentang Malaikat-malaikat Allah
Tentang Kitab-kitab Allah
Tentang Rasul-rasul Allah
Tentang Hari Akhir
Tentang Qadha dan Qadar
F. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Fiqih
Imam Hanafi ( 80-150 H )
Imam Maliki ( 93-179 H )
Imam Syafi’i ( 150-204 H )
Imam Hambali ( 164-248 H)
G. Metode Aswaja dalam memutuskan masalah
Di dalam memutuskan sesuatu masalah, tentu kita dapat memutuskan dengan cepat. Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut tetapi kita harus meneliti dalam menentukan hukum. Pertama : kita melihat perbuatan tersebut ada perintahnya dalam al-quran dan as-Sunnah ?, Kedua : Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut, tidak ada baik dalam al-quran maupun as-Sunnah kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut ?, ketiga : kalau perintah dan larangan terhadap perbuatan tersebut tidak ada dalam al-quran dan as-Sunnah, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama ?, keempat : kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada mudaratnya ( bahayanya ) terhadap agama ?, setelah tahapan – tahapan tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum :
Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari wajib atau sunnah
Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas dari haram atau makruh
Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )
Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram
Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq
Keterangan:
1. Makalah ini disampaikan pada acara MAPABA PMII Komisariat Perguruang Tinggi Latansa Mashiro Rangkasbitung yang diselenggarakan pada tanggal 24 Oktober 2009 di Yayasan Amanah Bunda Kumpay Banjarsari Lebak
2. Penulis adalah Sekretaris Majelis Pembina Cabang PMII Kabupaten Lebak
MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH:
SEBUAH RINGKASAN1
Dengan timbulnya bermacam-macam aliran / madzhab dalam Islam sehingga banyak membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat, tentu kita sebagai umat Islam harus punya pilihan yang tepat dan benar. Terkait dengan ini, Nahdhatul Ulama (NU) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam menjalankan ajaran agama Islam memilih mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pilihan NU dan PMII sangat argumentatif karena berdasarkan pada Hadits Nabi. Berikut ini, penulis akan mencoba untuk mengurai secara singkat tentang Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam perspektif NU dan PMII
A. Pengertian
Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun, kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.
Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS. Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)
As-sunnah secara etimologi adalah At-thariqah, yaitu jalan / sistem / cara / tradisi. Sedangkan menurut terminologi ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW.
Al-Jama’ah secara etimologi berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya. Sedangkan menurut terminologi ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam.
Dengan demikian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid maupun fiqih dengan mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal.
Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan Shahabat-shahabat beliau.
B. Sejarah dikenalnya Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrosydin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad ke-II H. Sejarahnya sebagai berikut:
Seorang ulama besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah Majelis Ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, Washil bin ‘Atha adalah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dengan murid “ tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar”. Apakah ia masih tetap mu’min atau tidak ?
Menurut Al-Imam Hasan Al-Bashry, dia tetap mu’min selama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist karena imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist. Tetapi menurut muridnya Washil bin ‘Atha orang mu’min yang melakukan dosa besar sudah bukan mu’min lagi, dia berpegang pada akalnya. Bagaimana seorang mu’min melakukan dosa besar ?, berarti iman yang ada padanya adalah iman dusta. Semenjak itulah maka para ulama yang mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist daripada dalil akal mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama, kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
C. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid
Di dalam mempelajari ilmu tauhid madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan dalil-dalil Aqli ( rasio ) dan Naqli ( Qur’an dan Hadist ). Namun dalam operasionalisasinya, madzhab ini mendahulukan dalil naqli daripada dalil aqli. Akal manusia diibaratkan mata, kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata (akal manusia) mengikuti pelita (dalil Qur’an dan Hadist) bukan Qur’an dan Hadist yang disesuaikan dengan akal manusia.
D. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih
Di dalam menentukan hukum fiqih madzhab Aswaja bersumber pada 3 pokok, yaitu:
Al-Qur’an
As-Sunnah
Ijtihad
E. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Tauhid
Imam Abul Hasan Al-Asy’ari ( 260-324 )
Imam Abul Mansur Al-Maturidi ( Wafat 333 H )
I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:
Tentang Ketuhanan
Tentang Malaikat-malaikat Allah
Tentang Kitab-kitab Allah
Tentang Rasul-rasul Allah
Tentang Hari Akhir
Tentang Qadha dan Qadar
F. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Fiqih
Imam Hanafi ( 80-150 H )
Imam Maliki ( 93-179 H )
Imam Syafi’i ( 150-204 H )
Imam Hambali ( 164-248 H)
G. Metode Aswaja dalam memutuskan masalah
Di dalam memutuskan sesuatu masalah, tentu kita dapat memutuskan dengan cepat. Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut tetapi kita harus meneliti dalam menentukan hukum. Pertama : kita melihat perbuatan tersebut ada perintahnya dalam al-quran dan as-Sunnah ?, Kedua : Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut, tidak ada baik dalam al-quran maupun as-Sunnah kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut ?, ketiga : kalau perintah dan larangan terhadap perbuatan tersebut tidak ada dalam al-quran dan as-Sunnah, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama ?, keempat : kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada mudaratnya ( bahayanya ) terhadap agama ?, setelah tahapan – tahapan tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum :
Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari wajib atau sunnah
Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas dari haram atau makruh
Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )
Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram
Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq
Catatan:
3. Makalah ini disampaikan pada acara MAPABA PMII Komisariat STAI Wasilatul Falah Rangkasbitung pada tanggal 14 Desember 2008 bertempat di Waduk Karian-Sajira
4. Penulis adalah dosen STAI Wasilatul Falah Rangkasbitung, STAI Latansa Mashiro Rangkasbitung dan STAI Assalamiyah Jawilan-Serang
ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL FIKR
A. Pendahuluan
Melacak akar sejarah munculnya istilah ahlu sunnah waljama’ah (aswaja), bahwa aswaja sudah terkenal sejak zaman Muhammad Rasulullah SAW (lihat sabda Nabi riwayat Ibnu Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Sebagai konfigurasi sejarah, maka aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’i (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni, disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh dua tokoh di tempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan al-Asy’ari (w.324 H/935 M) di Mesopotamia, dan Abu Mansur al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand. Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh al-Asy’ari sudah keluar dari paham yang semestinya.
Aswaja dalam konteks Indonesia, sebagaimana yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bahwa aswaja bukan hanya sekedar faham/madzhab, tetapi aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al fikr) keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri di atas prinsip keseimbangan dalam akidah, penengah dan perekat dalam sistem kehidupan sosial serta keadilan dan toleransi. Dari sinilah PMII menggunakan aswaja sebagai manhaj al fikr dalam landasan gerak
B. Aswaja Sebagai Manhaj al Fikr
Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik dapat dikategorikan menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok rasionalis yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang pelapori oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok tekstualis yang dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf yang dimunculkan oleh Ibnu Taimiyah dan generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syi’ah dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Di dalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevansinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Prof. Dr. Said Aqil Siradj, MA pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam. Dalam perkembangannya, rumusan baru Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip utama dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi; tawasuth (mederat), tasamuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan ta’adul (keadilan). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah manifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang berikutnya adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan memposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.
C. Penutup
Secara sederhana dapat dimabil benang merahnya bahwa substansi aswaja sebagai manhaj al fikr adalah tawasuth (moderat: berdiri tengah-tengah), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan ta’addul (adil). Berarti, yang menjadi Standarisasi aswaja adalah nilai-nilai kemoderatan.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfa’at dan memberikan angin segar untuk kader PMII agar bisa bertambah moderat, sehingga bisa mengayomi dan berdiri secara adil di tengah-tengah golongan yang ada. Dan yang penting lagi adalah bisa menjadi pioner terwujudnya misi Islam sebagai rahmataallil alamin. Yaitu Islam yang menebarkan kemaslahatan, kasih sayang dan kedamaian bagi seluruh alam, bukan Islam yang galak, menakutkan, dan mudah memuncratkan darah orang lain.
Wallahu A’lamu Bi El Shawab
Catatan:
Tulisan sederhana ini disampaikan pada acara Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Lebak hari Rabu tanggal 29 Juli 2009 di Gedung SKB Sajira
MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH:
SEBUAH RINGKASAN1
Dengan timbulnya bermacam-macam aliran / madzhab dalam Islam sehingga banyak membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat, tentu kita sebagai umat Islam harus punya pilihan yang tepat dan benar. Terkait dengan ini, Nahdhatul Ulama (NU) dalam menjalankan ajaran agama Islam memilih mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pilihan NU sangat argumentatif karena berdasarkan pada Hadits Nabi (lihat sabda Nabi riwayat Ibnu Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Berikut ini, penulis akan mencoba untuk mengurai secara singkat tentang Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam perspektif NU.
A. Pengertian
Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun, kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.
Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS. Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)
As-sunnah secara etimologi adalah At-thariqah, yaitu jalan / sistem / cara / tradisi. Sedangkan menurut terminologi ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW.
Al-Jama’ah secara etimologi berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya. Sedangkan menurut terminologi ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam.
Dengan demikian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid maupun fiqih dengan mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal.
Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan Shahabat-shahabat beliau.
B. Sejarah dikenalnya Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrosydin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad II H. Sejarahnya sebagai berikut:
Seorang ulama besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah Majelis Ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, Washil bin ‘Atha adalah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dengan murid “ tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar”. Apakah ia masih tetap mu’min atau tidak ?
Menurut Al-Imam Hasan Al-Bashry, dia tetap mu’min selama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist karena imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist. Tetapi menurut muridnya Washil bin ‘Atha orang mu’min yang melakukan dosa besar sudah bukan mu’min lagi, dia berpegang pada akalnya. Bagaimana seorang mu’min melakukan dosa besar ?, berarti iman yang ada padanya adalah iman dusta. Semenjak itulah maka para ulama yang mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist daripada dalil akal mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama, kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
C. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid
Di dalam mempelajari ilmu tauhid madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan dalil-dalil Aqli ( rasio ) dan Naqli ( Qur’an dan Hadist ). Namun dalam operasionalisasinya, madzhab ini mendahulukan dalil naqli daripada dalil aqli. Akal manusia diibaratkan mata, kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata (akal manusia) mengikuti pelita (dalil Qur’an dan Hadist) bukan Qur’an dan Hadist yang disesuaikan dengan akal manusia.
D. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih
Di dalam menentukan hukum fiqih madzhab Aswaja bersumber pada 3 pokok, yaitu:
Al-Qur’an
As-Sunnah
Ijtihad
E. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Tauhid
Imam Abul Hasan Al-Asy’ari ( 260-324 )
Imam Abul Mansur Al-Maturidi ( Wafat 333 H )
I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:
Tentang Ketuhanan
Tentang Malaikat-malaikat Allah
Tentang Kitab-kitab Allah
Tentang Rasul-rasul Allah
Tentang Hari Akhir
Tentang Qadha dan Qadar
F. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Fiqih
Imam Hanafi ( 80-150 H )
Imam Maliki ( 93-179 H )
Imam Syafi’i ( 150-204 H )
Imam Hambali ( 164-248 H)
G. Metode Aswaja dalam memutuskan masalah
Di dalam memutuskan sesuatu masalah, tentu kita dapat memutuskan dengan cepat. Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut tetapi kita harus meneliti dalam menentukan hukum. Pertama : kita melihat perbuatan tersebut ada perintahnya dalam al-quran dan as-Sunnah ?, Kedua : Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut, tidak ada baik dalam al-quran maupun as-Sunnah kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut ?, ketiga : kalau perintah dan larangan terhadap perbuatan tersebut tidak ada dalam al-quran dan as-Sunnah, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama ?, keempat : kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada mudaratnya ( bahayanya ) terhadap agama ?, setelah tahapan – tahapan tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum :
Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari wajib atau sunnah
Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas dari haram atau makruh
Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )
Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram
Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq
Catatan:
1. Tulisan ini disampaikan pada acara MAKESTA IPNU-IPPNU Kabupaten Lebak pada hari Ahad tanggal 09 Agustus 2009 di Auditorium YPI Nurul Falah Pasir Malang Kecamatan Cibadak Kabupaten Lebak
2. Penulis adalah Dewan Pembina PC IPNU Lebak, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatus Sholihin Cisalam, Dosen STAI Wasilatul Falah dan STAI Latansa Mashiro Rangkasbitung
RINGKASAN TA’ALLUQ SIFAT MA’ANI
A. Ta’alluq Sifat Qudrat
Secara garis besar ta’alluq sifat qudrat terbagi tiga, yaitu:
1. Ta’alluq Ifadah (gunanya sifat qudrot), yaitu untuk mengadakan (ijad) makhluk dan meniadakan (I’dam) makhluk setelah ada.
2. Ta’alluq Ta’diyyah (sasaran sifat Qudrat), yaitu mukminul wujud (seluruh yang mungkin adanya). Sifat qudrat tidak ta’alluq kepada yang wajibul wujud dan mustahilul wujud
3. Ta’alluq Marotib (tingkatan), artinya sifat qudrot mempunyai delapan tingkatan persambungan, yaitu:
a. Suluhi Qodim, yaitu ketika makhluk belum diciptakan qudrotullah menyambung dengan shuluhi qoddim, shuluhi berarti lulus dan mampu, qodim berarti qudrotulloh tidak ada permulaan, maka shuluhi qodim berarti qudrotulloh pada waktu belum menciptakan makhluk menyambung dengan melaksanakan kekuasaan-Nya.
b. Ta’alluq sifat qudrot pada qobdloh awwal, yaitu setelah lauhil mahfudz diciptakan dan makhluk yang lain belum diciptakan, maka qodrotulloh waktu itu menyambung kepada qobdloh awwal artinya, penyusunan penciptaan yang sewaktu-waktu dapat dirubah dan dapat pula ditetapkan (QS Ar-Ra’du ayat 39)
c. Tanjizi Hadist Awwal yaitu mengadakan (ijad) sesuatu yang telah terdaftar di lauhil mahfudz.
d. Ta’alluq sifat qudrot pada qobdloh kedua, yaitu qudrotillah yang digunakan untuk menggenggam (menetapkan) sesuatu dalam keberadaannya, setelah diproses oleh tanzizi hadist pertama. Dan keberadaan seseuatu itu tidak dapat lepas dari genggaman Allah.
e. Ttanjizi hadist kedua, yaitu qudrotullah yang digunakan untuk meniadakan (I’dam) makhluk yang berada di qobdloh kedua.
f. Ta’alluq sifat qudrot pada qobdloh ke tiga, yaitu qodrotullah yang digunakan untuk menggenggam manusia di alam barzakh.
g. Tanzizi hadist ke tiga, yaitu qudrotullah yang digunakan untuk membangunkan (ba’ats) makhluk setelah qiyamat
h. Ta’aluq sifat qudrot pada qobdloh ke empat, yaitu qudrotullah yang mengabadikan makhluk setelah ba’ats (bangun dari kubur).
B. Ta’alluq sifat irodat
Sifat irodat mempunyai 3 (tiga) ta’alluq :
1.Ta’alluq ifadah (kegunaan)
Kegunaan/fungsi sifat irodat adalah “Lit-Takhshish” artinya untuk menentukan antara dua tandingan, ada dan tidak adanya sesuatu.
2. Ta’alluq ta’diyyah (sasaran sifat irodat)
sasaran sifat irodat adalah seluruh makhluk yang mukminul wujud sebab yang direncanakan oleh Allah hanya mumkinul wujud, tidak akan merencanakan yang wajibul wujud dan yang mustahil wujud.
3. Ta’alluq marotib (tingkatan)
a. Shuluhi qodim, yaitu kemampuan Allah untuk berkehendak sebelum menciptakan makhluk, yakni Allah telah mampu merencanakan sesuatu diantara dua tandingan antara ada dan tidak ada
b. Tanjizi qodim, yaitu praktiknya Allah untuk menentukan sesuatu diantara dua tandingan tersebut.
c. Tanjizi hadist, yaitu penentuan terakhir sebelum ditakdirkannya (Menurut sebagian Ulama sifat iradat tidak memiliki ta’alluq tanjizi hadits).
C. Ta’alluq Sifat ‘Ilmu
Sifat ilmu memiliki tiga t’alluq:
1. Ta’alluq ifadah (kegunaan), yaitu ilmu Allah menjelaskan seluruh perkara yang maujud
2. Ta’alluq ta’diyyah (sasaran), yaitu semua yang wajibul wujud (dzat allah dan sifatnya), yang mustahilul wujud seperti abadinya alam, dan yang mukminul wujud seperti adanya makhluk, semuanya diketahui oleh Allah.
3. Ta’alluq marotib (tingkatan), yaitu kontak ilmu Allah tanjizi qodim kepada seluruh perkara, artinya Allah mengetahui dari azali, baik perkara yang sudah ada maupun yang akan ada.
D. Ta’alluq Sifat Hayat
Sifat hayat hanya mempunyai ta’alluq ifadah / kegunaan yakni “at-tashhih” artinya untuk mengesahkan adanya sifat-sifat yang lain di Allah, sebab kalau Allah tidak hayat /hidup tidak akan memiliki sifat-sifat yang lain. Sifat hayat tidak memiliki ta’alluq ta’diyah dan ta’alluq marotib
E. Ta’alluq Sifat Sama’
Sifat sama’ mempunyai 3 ta’alluq (hubungan), yaitu:
1. Ta’alluq ifadah (kegunaan), yakni INKISYAF, artinya membukakan semua yang ada, baik mumkinul wujud maupun wajibul wujud semuanya terdengar oleh Allah, suara ataupun bukan suara (dzat).
2. Ta’alluq Ta’diyyah (sasaran)
Sasaran sifat sama’ adalah semua yang ada (maujudat), baik wajibul wujud maupun mukminul wujud, baik yang dapat ditemukan oleh panca indra maupupun yang ditemukan oleh akal semuanya terdengar oleh Allah yang memiliki sifat sama’
3. Ta’alluq marotib (tingkatan)
a. Tanjiziz qodim, artinya Allah mendengar kepada dzat dan sifat-Nya sendiri dan tidak ada permulaan.
b. Shuluhi qodim, artinya Allah mampu mendengar segala sesuatu yang akan diciptakan.
c. Tanjizi hadist, artinya kontaknya sifat sama’ /mendengarnya Allah kepada makhluk yang telah diciptakan (sedang ada).
F. Ta’alluq Sifat Bashor
Sifat bashor mempunyai tiga ta’alluq
1. Ta’alluq ifadah (kegunaan), yakni INKISYAF, artinya membuka (melihat) yang maujudat.
2. Ta’alluq ta’diyyah (sasaran)
Sasaran sifat bashor adalah semua yang ada (maujudat) , baik mukminul wujud maupun wajibul wujud, semuanya terlihat oleh Allah yang mempunyai sifat bashor
3. Ta’alluq marotib (tingkatan):
a. Tanjizi qodim, yakni kontaknya penglihatan Allah kepada dzat Allah dan sifat-Nya.
b. Shuluhi qodim, yakni kontaknya penglihatan Allah dengan makhluk yang akan diciptakan.
c. Tanjizi hadist, yakni kontaknya penglihatan Allah kepada seluruh makhluk yang telah diciptakan (sedang ada).
G. Ta’alluq Sifat Kalam
Sifat kalam mempunyai tiga ta’alluq, yaitu:
1. Ta’alluq ifadah (kegunaan)
Kegunaan sifat kalam adalah DILALAH, artinya, Allah memberi petunjuk kepada makhluk-Nya dengan firman-firman-Nya.
2. Ta’alluq ta’diyyah (sasaran),
Sasaran sifat kalam adalah AL-ASYYA (semua perkara), baik wajibul wujud, mustahil wujud atau mukminul wujud, yakin semuanya difirmankan oleh Allah.
3. ta’alluq marotib (tingkatan)
a. Tanjizi qodim, yakni firman Allah selain amar dan nahyi, yang tidak ada permulaan.
b. Shuluhi qodim, yakni kemampuan Allah untuk memerintah dan melarang sebelum makhluk-Nya ada, atau sebelum perintah dan larangan tersebut disampaikan.
c. Tanjizi hadist, yakni firman Allah yang berisikan perintah dan larangan setelah ada yang diperintahkan atau yang dilarang
Wallahu A’lamu Bisshawab
Keterangan: Ringkasan ta’alluq sifat ma’ani ini diambil dari Aqidah Islamiyah, Fathul Majid, Tuhfatul Murid ‘Ala Jauharatit Tauhid, dan Addasuqi ‘Ala Ummil Barohin
MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH:
SEBUAH RINGKASAN
Dengan timbulnya bermacam-macam aliran / madzhab dalam Islam sehingga banyak membawa keragu-raguan bahkan menjurus kepada keresahan umat, tentu kita sebagai umat Islam harus punya pilihan yang tepat dan benar. Terkait dengan ini, Nahdhatul Ulama (NU) dalam menjalankan ajaran agama Islam memilih mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pilihan NU sangat argumentatif karena berdasarkan pada Hadits Nabi (lihat sabda Nabi riwayat Ibnu Majah dalam kitab El Milal Wa El Nihal Juz 1 hal 13). Berikut ini, penulis akan mencoba untuk mengurai secara singkat tentang Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam perspektif NU.
A. Pengertian
Perkataan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata, pertama perkataan ahlun, kedua as-sunnah, dan ketiga al-jama’ah.
Ahlun bisa diartikan keluarga ( QS. Huud: 45 dan QS Toha : 132 ), Penduduk (QS. Al-A’raf : 96), dan disiplin ilmu (QS. An-Nahl: 43)
As-sunnah secara etimologi adalah At-thariqah, yaitu jalan / sistem / cara / tradisi. Sedangkan menurut terminologi ialah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW.
Al-Jama’ah secara etimologi berarti bilangan lebih dari dua dan seterusnya. Sedangkan menurut terminologi ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam.
Dengan demikian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan terbesar umat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid maupun fiqih dengan mengutamakan dalil Qur’an dan hadist daripada dalil akal.
Dalam perkataan lain dapat dikatakan bahwa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan Shahabat-shahabat beliau.
B. Sejarah dikenalnya Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Sebenarnya sistem pemahaman Islam menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hanya merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaurrosydin. Namun sistem ini kemudian menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah pada abad II H. Sejarahnya sebagai berikut:
Seorang ulama besar bernama Al-Imam Al-Bashry dari golongan At-Tabi’in di Bashrah mempunyai sebuah Majelis Ta’lim, tempat mengembangkan dan memancarkan ilmu Islam. Beliau wafat tahun 110 H. Diantara murid beliau, Washil bin ‘Atha adalah seorang murid yang pandai dan fasih dalam bahasa arab. Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dengan murid “ tentang seorang mu’min yang melakukan dosa besar”. Apakah ia masih tetap mu’min atau tidak ?
Menurut Al-Imam Hasan Al-Bashry, dia tetap mu’min selama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia fasik dengan perbuatan maksiatnya. Keterangan ini berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist karena imam Hasan Al-Bashry mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist. Tetapi menurut muridnya Washil bin ‘Atha orang mu’min yang melakukan dosa besar sudah bukan mu’min lagi, dia berpegang pada akalnya. Bagaimana seorang mu’min melakukan dosa besar ?, berarti iman yang ada padanya adalah iman dusta. Semenjak itulah maka para ulama yang mengutamakan dalil Qur’an dan Hadist daripada dalil akal mulai memasyarakatkan cara dan sistem mereka di dalam memahami agama, kemudian disebut kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
C. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid
Di dalam mempelajari ilmu tauhid madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menggunakan dalil-dalil Aqli ( rasio ) dan Naqli ( Qur’an dan Hadist ). Namun dalam operasionalisasinya, madzhab ini mendahulukan dalil naqli daripada dalil aqli. Akal manusia diibaratkan mata, kemudian dalil naqli diibaratkan pelita, agar mata kita tidak tersesat, maka pelita kita letakkan di depan kemudian mata (akal manusia) mengikuti pelita (dalil Qur’an dan Hadist) bukan Qur’an dan Hadist yang disesuaikan dengan akal manusia.
D. Metode Madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Ilmu Fiqih
Di dalam menentukan hukum fiqih madzhab Aswaja bersumber pada 3 pokok, yaitu:
Al-Qur’an
As-Sunnah
Ijtihad (ijma’ dan qiyas)
E. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Tauhid
Imam Abul Hasan Al-Asy’ari ( 260-324 )
Imam Abul Mansur Al-Maturidi ( Wafat 333 H )
I’tiqad (paham) Ahlus Sunah Wal Jama’ah yang telah disusun oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari meliputi 6 faktor, yaitu:
Tentang Ketuhanan
Tentang Malaikat-malaikat Allah
Tentang Kitab-kitab Allah
Tentang Rasul-rasul Allah
Tentang Hari Akhir
Tentang Qadha dan Qadar
F. Tokoh Aswaja dalam Ilmu Fiqih
Imam Hanafi ( 80-150 H )
Imam Maliki ( 93-179 H )
Imam Syafi’i ( 150-204 H )
Imam Hambali ( 164-248 H)
G. Metode Aswaja dalam memutuskan masalah
Di dalam memutuskan sesuatu masalah, tentu kita dapat memutuskan dengan cepat. Kita harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut tetapi kita harus meneliti dalam menentukan hukum. Pertama : kita melihat perbuatan tersebut ada perintahnya dalam al-quran dan as-Sunnah ?, Kedua : Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut, tidak ada baik dalam al-quran maupun as-Sunnah kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut ?, ketiga : kalau perintah dan larangan terhadap perbuatan tersebut tidak ada dalam al-quran dan as-Sunnah, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada maslahatnya terhadap agama ?, keempat : kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah perbuatan tersebut ada mudaratnya ( bahayanya ) terhadap agama ?, setelah tahapan – tahapan tersebut di atas baru kita dapat menentukan hukum :
Apabila ada perintah dalam al-quran dan as-Sunnah maka hukumnya tidak terlepas dari wajib atau sunnah
Apabila ada larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hukumnya tidak terlepas dari haram atau makruh
Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada, tetapi mengandung maslahat, maka hukumnya Sunnah ( baik )
Apabila larangan dan perintah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut membawa mudarat maka hukumnya haram
Apabila perintah dan larangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada dan perbuatan tersebut tidak mengandung maslahat dan mudarat maka hukumnya Ibahah
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq
Keterangan:
Penulis adalah ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Kabupaten Lebak, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan FSPP Kabupaten Lebak dan Sekretaris Komisi Fatwa Hukum dan Perundang-undanga MUI Kabupaten Lebak
MENGENAL POLITIK ISLAM (FIQH SIYASAH)
Oleh Asep Saefullah, S.PdI., M.Pd.
Dalam Agama Islam, bukan masalah Ibadah, Aqidah dan Akhlak saja yang dibahas. Akan tetapi tentang kemaslahatan umat juga dibahas dan diautr dalam Islam. Mengurai kemalahatan umat akan menjumpai banyak corak, salah satunya adalah politik Islam yang dalam bahasa Agama Islam disebut Fiqh Siyasah
Apa Itu Politik Islam (Fiqh Siyasah) ?
Sebelum mengurai apa itu politik Islam, ada baiknya terlebih dahulu mengurai politik secara umum. Dalam kajian teoritis umum, politik adalah sebuah teori dan cara untuk mengatur suatu negara untuk menuju sebuah ketatanegaraan yang aman dan damai. Ketika kata politik digabungkan dengan kata Islam (politik Islam) yang dalam bahasa agama Islam disebut fiqh siyasah maka dapat dilihat dari dua sudut, yaitu sudut etimologi dan terminology.
Secara etimologi, fiqh siyasah terdiri dari dua kata, yaitu kata fiqh dan kata siyasah. Fiqih mengandung arti mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis melalui dalil-dalil yang terprinci. Sedangkan siyasah adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan.
Secara terminology, fiqh siyasah (politik Islam) dapat diartikan sebagai materi yang membahas mengenai ketatanegaraan Islam yang di dalamnya mengatur tentang hubungan pemerintah dengan rakyatnya secara Islami dengan menitikberatkan pada upaya tercapainya kemaslahatan dan terhindar dari kemafsadatan (jalbul mashalih wa darul mafasid).
Apa Saja Yang Menjadi Cakupan Politik Islam (Fiqh Siyasah) ?
Sebagaimana diungkapkan oleh para ahli, bahwa fiqh siyasah mencakup 4 bidang, yaitu Siyaasah Dusturiyah, Siyasah Maliyah, Siyasah Dauliyah, dan Siyasah Harbiyah.
Siyasah Dusturiyah
Siyasah Dusturiyah menurut tata bahasanya terdiri dari dua suku kata yaitu Siyasah dan Dusturiyah. Arti kata Siyasah sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan. Sedangkan Dusturiyah adalah undang-undang atau peraturan. Dengan demikian, Siyasah Dusturiyah adalah kebijakan yang diambil oleh kepala negara atau pemerintah dalam mengatur warga negaranya. Hal ini berarti Siyasah Dusturiyah adalah hal terpenting dalam suatu negara, karena menyangkut hal-hal yang mendasar dari suatu negara. Yaitu harmonisasi antara warga negara dengan kepala negaranya
Siyasah Maliyah
Arti kata Maliyah adalah harta benda atau kekayaan. Siyasah Maliyah secara umum dapat diartikan sebagai pemerintahan yang mengatur keuangan Negara. Menurut Djazuli (2003) Siyasah Maliyah adalah hak dan kewajiban kepala negara untuk mengatur dan mengurus keungan negara guna kepentingan warga negaranya serta kemaslahatan umat. Sementara menurut Pulungan (2002) Siyasah Maliyah meliputi hal-hal yang menyangkut harta benda negara, pajak, dan Baitul Mal.
Dari pembahasan di atas dapat kita garis bawahi bahwa Siyasah maliyah adalah hal-hal yang menyangkut kas negara dan keuangan negara yang berasal dari pajak, zakat, baitul mal serta pendapatan negara yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Siyasah Dauliyah
Arti kata Dauliyah adalah daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang, atau kekuasaan. Menurut Pulungan (2002) Siyasah Dauliyah adalah kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, masalah teritorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing, mengurusi masalah kaum dzimi, perbedaan agama, hudud, dan qishash.
Siyasah Dauliyah lebih mengarah pada pengaturan masalah kenegaraan yang bersifat luar negeri dan kedaulatan negara. Hal ini sangat penting guna kedaulatan negara untuk pengakuan dari negara lain.
Siyasah Harbiyah
Arti kata Harbiyah adalah perang, keadaan darurat atau genting. Siyasah Harbiyah adalah pemerintah atau kepala negara mengatur dan mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak dan jaminan keamanan perang, perlakuan tawanan perang, harta rampasan perang, dan masalah perdamaian
Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar